Kampung Kadu Jangkung
Akhirnya sampai juga di kampung Kadu Jangkung ini, fuiihh capeknya – kami segera naik ke rumah kerabat kang Sarpin ini dilanjutkan dengan menghadapi bungkusan nasi masing-masing, yang ditemani dengan lauk telur balado plus rebusan daun singkong dan sambel yang maknyus – kamipun langsung asyiik dengan kegiatan santap siang kami…….
Hari sudah menunjukan jam 14.30 ketika kami santap siang tersebut, Kang Sarpin bilang kita akan bergerak lagi nanti pukul 16.00 agak sorean supaya tidak terlalu panas rencananya kami akan menuju kampung Balimbing untuk bermalam di kediaman kang Sarpin nanti malam.
Menurut kang Sarpin dari Kadu Jangkung ke Balimbing tidak terlalu jauh, ada tanjakan tapi tidak separah tadi katanya meyakinkan kami semua yang sudah trauma dengan tanjakan yg kami lalui siang tadi. Kang Sarpin sendiri tidak bisa menemani kami ke kampung Balimbing karena harus membantu persiapan pengobatan gratis untuk esok hari di kampung Kanekes, putra kang Sarpin si Mul yang akan menemani kami.
Aaah lumayan bisa isitrahat dulu di kadu jangkung ini, sementara itu ki Slamet menemukan objek foto yang menarik yaitu seorang ibu muda badui luar dengan anaknya….gak jelas yang menarik di foto ibunya apa anaknya hehehehe.
Sementara ki Slamet asiik mainkan camera nya, om AG bolak balik ke warung sebelah rumah kerabat kang Sarpin ini, sekali ke warung sendirian, balik lagi sekarang ngejajani om Effo habis itu balik lagi ke warung sekarang dia traktir si Adit…..selidik punya selidik ternyata ada obyek menarik di warung tersebut….pantesan koq bolak balik ke warung….ternyata….hehehe
Menjelang pukul 1600 kami bergerak, menuju kampung Balimbing, ternyata benar kata kang Sarpin ada tanjakan tapi tidak terlalu parah bahkan menjelang desa Balimbing dominan turunan nya.
Antara Kadu Jangkung dan Balimbing kami melewati satu kampung namanya kampung Cihulu, selain itu juga kami melewati area dengan pemandangan yang cantik dimana dari ketinggian bukit tempat kami berdiri kami bisa memandang landscape badui luar yang berbukit-bukit dan desa ciboleger dibawah sana. Salah satu bangunan mencolok dibawah sana adalah menara BTSnya Indosat – weeks pantesan cuma indosat yang masih ada sinyal di Badui ini.
Kampung Balimbing
Pukul 17 kami tiba di desa Balimbing dan langsung menuju ke rumah kang Sarpin…..alhamdulillah akhirnya….serasa sudah sampai dirumah sendiri hehehe, saya langsung geletak di beranda istirahaaat….
Rumah Kang Sarpin besar ruang utamanya pun besar dan nyaman, di depannya ada halaman yang luas. Kamar mandinya ada dua buah berada dibelakang rumah dan berdiri terpisah dari rumah - cukup bersih dan nyaman, mungkin hal ini karena kang Sarpin sering kali kedatangan tamu dari luar badui makanya kamar mandi maupun ruang utamanyapun disesuaikan untuk menampung tamu2nya yg bermalam.
Ketika kami sampai di rumah kang Sarpin ada icha dan temanya (ami - mirza?) yang sedang meliput kegiatan isteri kang Sarpin dan kegiatan badui luar lainnya untuk dimuat di blog dan di publikasikan. Icha juga sudah sering ke badui ini dan selalu menginap di tempat kang Sarpin. Jadi memang relasi kenalan kang Sarpin ini cukup luas.
Sore itu setelah mandi kami duduk-duduk di beranda menunggu waktu magrib, hmmm jarang-jarang nih duduk2 sore menjelang magrib menyaksikan pertukaran dari siang hari menuju malam – apalagi dalam suasana desa tanpa listrik dan tanpa suara bising; beda sekali dengan suasana sehari-hari di Jakarta, dimana kita begitu asik kerja begitu keluar gedung ternyata hari sudah gelap – dan jalanan bising dengan kendaraan yang macet antre. Disini begitu tenang senyap dan perlahan menjadi gelap.
Cahaya kuning kemerahan lampu teplok atau lampu semprong (lampu minyak tanah) tersebut tidak cukup kuat untuk menerangi seluruh sudut ruang utama rumah kang sarpin, goyangan nyala apinya membuat bayangan-bayangan yang tercipta di dinding bilik bambu ikut bergoyang-goyang – dalam nuansa temaram seperti inilah kami santap malam dengan hidangan yang dimasak oleh Teh Misnah (?) isteri kang Sarpin.
Hidangannya sederhana saja, Nasi putih hangat, telur dadar, sayur buncis, ikan asin, sambal dan kerupuk – namun nikmatnya mak nyuus bo; serius beneran nih; entah karena suasananya yang berbeda atau memang karena kita lagi laper dan masih capek yang jelas makan jadi lahap dan nikmat……
Selesai makan kelihatannya semua sepakat untuk segera istirahat – semuanya sudah siap di kaplingnya masing-masing dan sudah berada di dalam sleeping bagnya; sambil saling melemparkan cerita-cerita horror maupun candaan horor……(nakut-nakutin si Alin dan Eliz) kami pun berangkat tidur zzzz…zzzz..zzz – (kelihatannya kang Sarpin tidak terlalu suka cerita-cerita horor kami dia lebih suka memilih keluar ke beranda memandangi bulan hehehehe – maaf ya kang);
***
Minggu, 13 Februari 2011 di teras Rumah Kang Sarpin Kampung Balimbing
Tentang Orang Badui
Tahukah anda kalo orang badui tidak mengenal budaya baca – tulis? Yang ada adalah budaya lisan, fakta ini saya ketahui dari kang Sarpin ketika pagi hari kami mengobrol di teras rumahnya di temani teh manis dan ketan hangat yang pulen.
Kang Sarpin mengatakan bahwa anak-anak Badui Luar tidak pergi bersekolah, karena mereka memang tidak mengenal budaya baca tulis (atau malah dilarang secara adat?). Jadi semua tradisi dan adat istiadat selama ini diturunkan secara lisan turun temurun. Terus terang antara takjub dan miris juga saya mendengar hal ini, takjub atas kemampuan mereka menjaga adat dan mewariskan ke generasi berikutnya secara lisan, tapi juga miris seberapa lama mereka akan mampu menjaga budaya nya.
Kalo kita ingat akan permainan pesan berantai dalam even-even team building – dimana 10 sampai 15 orang dibariskan kemudian kepada orang yang paling depan diberikan pesan tertentu yang selanjutnya pesan tersebut harus disampaikan kepada orang yang kedua, dan orang yang kedua ini menyampaikan pesan kepada orang ketiga, demikian seterusnya secara estafet pesan ini dilanjutkan sampai orang terakhir – maka pada saat orang terakhir diminta untuk menyebutkan pesan yg diterimanya, umumnya isi pesannya sudah berubah banyak dan umumnya menjadi tidak lengkap. Kondisi ini disebabkan macam-macam hal karena daya ingat manusia yg terbatas, daya tangkap dan pemahaman terhadap pesan yang keliru, cara menyampaikan yg salah dan bentuk bentuk distorsi lainnya.
Nah apakah budaya badui akan mengalami distorsi ataupun penyusutan dan menjadi tidak lengkap setelah generasi generasi berikutnya hanya orang badui dan sang waktu lah yang akan tahu.
Ketika saya tanyakan apakah orang badui mengenal musik dan lagu, Kang Sarpin bilang bahwa alat musik yang dikenal orang badui adalah angklung tetapi lagu yang dimainkan adalah lagu lama – tidak ada lagu baru yang di ciptakan oleh orang badui, demikian juga dengan tari-tarian orang badui tidak mempunyai tari tarian – wah tampaknya orang badui tidak terlalu antusias dalam berkesenian ya.
Dan memang selama di Badui Luar ini saya tidak melihat adanya patung ataupun ukir-ukiran atau lukisan mungkin ini karena terkait dengan tidak adanya budaya baca tulis tadi.
Beberapa orang mengatakan bahwa orang badui menganut system barter dalam bertransaksi dengan pihak lain – namun menurut kang Sarpin orang badui sudah mengenal uang cukup lama, bahkan termasuk di badui dalamnya.
Menurut kang Sarpin berdasarkan koleksi uang yang dimiliki oleh orang tuanya kang Sarpin melihat orang tuanya memiliki koleksi uang-uang kuno, bahkan ada koin yg bergambarkan ratu Wilhemina (ratu Belanda pada jaman penjajahan dulu) dan juga ada uang yang disebut-sebut sebagai uang kerajaan (kerajaan Pajajaran atau kesultanan Banten tidak jelas yang dimaksud kang Sarpin ini kerajaan apa).
Artinya orang badui sudah sejak lama mengenal uang dan berinteraksi serta bertransaksi dengan orang asing dengan menggunakan mata uang,
Bahkan menurut kang Sarpin ada ritual-ritual yang harus menggunakan mata-mata uang tersebut sebagai salah satu kelengkapan upacara.
Jadi kesimpulannya orang badui sudah lama sekali mengenal mata uang.
Mengenai pertanian kang Sarpin mengatakan bahwa orang badui melakukan perladangan berpindah, setiap kali lahan yang ditanami tingkat kesuburannya menurun, maka mereka berpindah ke lahan yang lain. Lahan yang di tinggalkan ini akan di diamkan kira-kira 5 -7 tahun agar tingkat kesuburannya kembali (humusnya terbentuk kembali). Namun karena penduduk badui yang semakin bertambah, menurut kang Sarpin lahan yang dulu di diamkan selama 5 -7 tahun baru ditanami kembali sekarang baru 2 – 3 tahun sudah ditanami kembali karena kebutuhan pangan yang meningkat.
Masih banyak sekali yang ingin kami dengar mengenai adat istiadat maupun hal-hal lain, sayang kang Sarpin harus turun ke kanekes karena ada pengobatan gratis. Sedangkan kami akan melanjutkan explorasi kami ke desa-desa disekitar desa balimbing ini. Yaitu ke desa marenggo dan gajeboh.
***
Kampung Marenggo dan Kampung Gajeboh
Pagi ini setelah bincang-bincang yang menarik dengan kang Sarpin rencananya kami akan melanjutkan explorasi kami ke Kampung Marenggo dan Kampung Gajeboh, dua kampung badui luar ini termasuk yang sering dikunjungi wisatawan – letaknya yang berada dalam lintasan untuk menuju badui dalam menyebabkan hal tersebut.
Pengunjung yang sabtu pagi kemarin banyak terlihat ketika kami sarapan ternyata tujuannya sebagian ke kedua kampung ini, bahkan juga ada rombongan sepedahan yang menuju ke sini – entah mereka berangkat dari mana yang jelas sepedanya dititipkan di Ciboleger; bener-bener deh yang namanya kendaraan dilarang masuk – hanya boleh jalan kaki hehehe.
Kami kembali menyusuri jalan antar kampung yang lagi-lagi naik dan turun, hanya saja kali ini tidak separah kemarin dan juga jaraknya tidak terlalu jauh, tidak sampai setengah jam kampung Marenggo sudah kita capai dan untuk mencapai kampung Gajeboh tidak sampai setengah jam jalan kaki dari kampung Marenggo.
Yang menarik dari perjalanan ke Gajeboh adalah adanya sebuah sungai yang cukup besar di sisi jalan, sehingga kami bisa melihat wisatawan yang menginap di kampung Gajeboh ini sedang mandi dan bersih-bersih di sungai ini; buat orang kota bermain-main di sungai seperti ini tentunya menyenangkan. Sayangnya masih ada yang mandi menggunakan sabun dan menggunakan pasta gigi untuk gosok gigi, seharusnya mereka tidak boleh menggunakan benda2 tersebut di sungai ini, agar sungai tersebut tidak tercemari.
Diujung kampung Gajeboh ada sebuah jembatan bambu untuk ke badui dalam kita harus melalui jembatan ini, disitu juga ada tulisan yang melarang untuk berenang/mandi di sungai melewati batas jembatan.
Setelah puas mengeksplore kampung Gajeboh kami kembali ke kampung Balimbing, sebelumnya sempet mampir ke rumah orang tua dari kang Sarpin di Kampung Gajeboh ini.
Di kampung Marenggo kami sempet berhenti sebentar di warung untuk beli minum, di kampung ini malah om Onot, om AG dan Adit sempet bermain bola kaki dengan anak-anak badui luar – sementara Ki Slamet terus hunting objek2 yang menarik di sekitar kampung Marenggo ini.
Menjelang pukul 9 kami sudah tiba di rumah kang Sarpin kembali. Setelah sarapan kami mulai packing rencananya kami akan turun ke kampung kanekes jam 11.00 agar tidak terlalu malam tiba di Jakarta nanti.
Sebelum meninggalkan kediaman kang Sarpin kami membeli beberapa cindera mata khas badui yang dijual oleh the Misnah, antara lain kain tenun hasil karya teh misnah sendiri, ada juga ikat kepala dan baju orang badui, selain itu ada juga tas yang terbuat dari anyaman akar.
****
Kembali ke Jakarta.
Menjelang jam 11 setelah berfoto bersama di depan kediaman kang Sarpin, kamipun meninggalkan rumah kang Sarpin. Ransel-ransel pakaian kami di bawa oleh Mul dan seorang temannya, sehingga kami masih bisa melenggang dengan nyaman.
Kami begitu bersemangat untuk melangkahkan kaki kali ini, selain karena tenaga yang masih penuh juga bayangan perjalanan yang begitu panjang dan menguras tenaga kemarin masih membekas begitu dalam. Jadi mumpung masih cukup pagi dan tenaga penuh kami coba lahap tanjakan dan turunan yang ada sesegera mungkin dan sebanyak mungkin.
Om Onot, Om AG, Adit, Alin dan saya berada di depan tanjakan-tanjakan kami libas dengan baik meskipun kaki saya masih agak sakit tapi tidak menghalangi pergerakan saya. Demikian bersamangatnya kami sampai-sampai sebelum jam 12 kami sudah tiba di suatu kampung, dimana disalah satu beranda rumahnya kami lihat ada kang Sarpin (ditempat pengobatan gratis). Kang Sarpin memberi isyarat ke om Onot agar istirahat dulu – kami pun duduk2 di warung yang berada didepan tempat kang Sarpin tadi.
Kami benar-benar tidak sadar bahwa rumah tempat pengobatan gratis tersebut adalah rumah tempat kami menginap kemarin malam saat tiba di badui luar, dalam bayangan kami pasti masih jauh jalannya seperti perjalanan kemarin siang.
Saking tidak sadarnya om AG bahkan semangat beliin kita minuman dia pikir jalannya masih jauh hehehe. Belakangan setelah di kasih tau kang Sarpin di balai desa Kanekes bahwa rumah tempat pengobatan gratis tadi adalah rumah tempat kami menginap ketika kami tiba barulah kami yakin…. Ada rasa lega berarti sudah sampai ditujuan – oh ternyata dekat saja, pantesan tadi kang Sarpin bilang koq cepet banget udah sampai hehehehe
Karena masih dipakai untuk pengobatan gratis, kang Sarpin mengajak kami ke balai desa kanekes, disana kami bertemu kang Masardi salah satu perangkat Kampung Kanekes juga, sayang Jaro Daina (kepala kampung Kanekes) sedang tidak ada di tempat.
Kami beramah tamah di balai desa ini termasuk juga menyelesaikan administrasi disana – menuliskan rombongan di buku tamu juga tentunya berfoto ria hehehe…
Selesai dari balai desa kami kembali menuju kerumah tempat pengobatan gratis tadi, kali ini kami akan santap siang disini, dengan menunya nasi liwet plus ikan asin waaks maknyuss banget terutama sambelnya bisa bikin semangat makan.
Hampir pukul 13.30 ketika kami turun dari kanekes ke Ciboleger dimana bis kami menunggu, sebelumnya sempet mampir di pusat kegiatan belajar masyarakat, semacam tempat belajar untuk baca-tulis ataupun paket kejar (kelompok belajar) – untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa kita bantu.
Jam dua siang kami berpamitan dengan kang Sarpin, dan kemudian segera masuk ke bis kami, Icha dan Mirza join dengan kami menuju Jakarta, hal ini dikarenakan mereka tidak memperoleh angkutan umum yang ke Rangkas.
Di siang hari yang panas tersebut bis kami pun bergerak meninggalkan Ciboleger, kembali melalui jalan-jalan rusak menuju Jakarta. Tidak banyak pembicaraan dalam perjalanan pulang ini, selain badan yang lelah masing-masing tenggelam dengan kesannya sendiri-sendiri atas tanah badui yang baru saja kami tinggalkan tadi. Satu-satunya kejadian yang menarik dalam perjalanan pulang ini adalah om Effo menunaikan kaulnya – yaitu mentraktir kami makan bakso di rest area tol selepas kota Serang; soalnya om Effo waktu tersiksa oleh kakinya yang kram, terucap yang paling di ingini om Effo saat itu kalo bisa menyelesaikan trekking kali ini adalah makan bakso…….
Gemerlap lampu Plasa Senayan dan hilir mudik mobil yang melintas (kontras sekali dengan suasana badui yg gelap dan hening) mengiringi perpisahan kami (tim Badui STAN82) dipelataran parkir plasa senayan ini. Ki Slamet di jemput sedangkan yang lain masing-masing naik taksi menuju rumahnya masing-masing.
Berakhir sudah aktifitas outdoor kami kali ini, tapi kami yakin ini bukan yang terakhir – sejumlah tujuan sudah masuk dalam waiting list untuk dikunjungi bersama-sama lagi antara lain Pulau Tidung, Ujung Kulon, Gunung Rinjani dll……insya Allah
----oO0Oo----