Thursday, March 24, 2011

STAN82 Goes to Badui




Tanggal 11 - 13 Februari 2011, saya dan teman2 Alumni STAN angkatan th 82, berkesempatan jalan2 ke Badui, banyak hal-hal unik yg kami temui disana. Buat yang ingin jalan2 ke sana sebaiknya mempersiapkan fisik sebaik mungkin - apalagi apabila anda seusia saya yang sebentar lagi usianya masuk kepala 5. hehehe

Medan trekking nya yang naik turun perbukitan cukup menguras tenaga....tapi hal-hal menarik yang kita dapatkan disana sungguh akan menambah wawasan kita.

Kang Sarpin dan Alin
Kang Slamet dan Kameranya


duduk manis ngambil nafas sejenak


saya dan alin di desa badui luar

di depan papan pengumuman

Guru dan Murid


jembatan akar

suasana kampung badui luar saat siang hari

di puncak bukit

di tengah alam yg masih asri

menatap masa depan

perempuan tua badui sedang menenun

asiik menenun

nenek dan cucunya

pohon-pohon duren

membidik

sunyi

alat tenun tradisional

sunset di badui

undakan batu

STAN82 Goes to Badui - 3 (tamat)

Kampung Kadu Jangkung

 

Akhirnya sampai juga di kampung Kadu Jangkung ini, fuiihh capeknya – kami segera naik ke rumah kerabat kang Sarpin ini dilanjutkan dengan menghadapi bungkusan nasi masing-masing, yang ditemani dengan lauk telur balado plus rebusan daun singkong dan sambel yang maknyus – kamipun langsung asyiik dengan kegiatan santap siang kami…….

 

Hari sudah menunjukan jam 14.30 ketika kami santap siang tersebut, Kang Sarpin bilang kita akan bergerak lagi nanti pukul 16.00 agak sorean supaya tidak terlalu panas rencananya kami akan menuju kampung Balimbing untuk bermalam di kediaman kang Sarpin nanti malam.

 

Menurut kang Sarpin dari Kadu Jangkung ke Balimbing tidak terlalu jauh, ada tanjakan tapi tidak separah tadi katanya meyakinkan kami semua yang sudah trauma dengan tanjakan yg kami lalui siang tadi. Kang Sarpin sendiri tidak bisa menemani kami ke kampung Balimbing karena harus membantu persiapan pengobatan gratis untuk esok hari di kampung Kanekes, putra kang Sarpin si Mul yang akan menemani kami.

 

Aaah lumayan bisa isitrahat dulu di kadu jangkung ini, sementara itu ki Slamet menemukan objek foto yang menarik yaitu seorang ibu muda badui luar dengan anaknya….gak jelas yang menarik di foto ibunya apa anaknya hehehehe.

 

Sementara ki Slamet asiik mainkan camera nya, om AG bolak balik ke warung sebelah rumah kerabat kang Sarpin ini, sekali ke warung sendirian, balik lagi sekarang ngejajani om Effo habis itu balik lagi ke warung sekarang dia traktir si Adit…..selidik punya selidik ternyata ada obyek menarik di warung tersebut….pantesan koq bolak balik ke warung….ternyata….hehehe

ki Slamet

Menjelang pukul 1600 kami bergerak, menuju kampung Balimbing, ternyata benar kata kang Sarpin ada tanjakan tapi tidak terlalu parah bahkan menjelang desa Balimbing dominan turunan nya.

 

Antara Kadu Jangkung dan Balimbing kami melewati satu kampung namanya kampung Cihulu, selain itu juga kami melewati area dengan pemandangan yang cantik dimana dari ketinggian bukit tempat kami berdiri kami bisa memandang landscape badui luar yang berbukit-bukit dan desa ciboleger dibawah sana. Salah satu bangunan mencolok dibawah sana adalah menara BTSnya Indosat – weeks pantesan cuma indosat yang masih ada sinyal di Badui ini.

 

Kampung Balimbing

 

Pukul 17 kami tiba di desa Balimbing dan langsung menuju ke rumah kang Sarpin…..alhamdulillah akhirnya….serasa sudah sampai dirumah sendiri hehehe, saya langsung geletak di beranda istirahaaat….

 

Rumah Kang Sarpin besar ruang utamanya pun besar dan nyaman, di depannya ada halaman yang luas. Kamar mandinya ada dua buah berada dibelakang rumah dan berdiri terpisah dari rumah  - cukup bersih dan nyaman, mungkin hal ini karena kang Sarpin sering kali kedatangan tamu dari luar badui makanya kamar mandi maupun ruang utamanyapun disesuaikan untuk menampung tamu2nya yg bermalam.

 

Ketika kami sampai di rumah kang Sarpin ada icha dan temanya (ami - mirza?) yang sedang meliput kegiatan isteri kang Sarpin dan kegiatan badui luar lainnya untuk dimuat di blog dan di publikasikan. Icha juga sudah sering ke badui ini dan selalu menginap di tempat kang Sarpin. Jadi memang relasi kenalan kang Sarpin ini cukup luas.

 

Sore itu setelah mandi kami duduk-duduk di beranda menunggu waktu magrib, hmmm jarang-jarang nih duduk2 sore menjelang magrib menyaksikan pertukaran dari siang hari menuju malam – apalagi dalam suasana desa tanpa listrik dan tanpa suara bising; beda sekali dengan suasana sehari-hari di Jakarta, dimana kita begitu asik kerja begitu keluar gedung ternyata hari sudah gelap – dan jalanan bising dengan kendaraan yang macet antre. Disini begitu tenang senyap dan perlahan menjadi gelap.

 

Cahaya kuning kemerahan lampu teplok atau lampu semprong (lampu minyak tanah) tersebut tidak cukup kuat untuk menerangi seluruh sudut ruang utama rumah kang sarpin, goyangan nyala apinya membuat bayangan-bayangan yang tercipta di dinding bilik bambu ikut bergoyang-goyang – dalam nuansa temaram seperti inilah kami santap malam dengan hidangan yang dimasak oleh Teh Misnah (?) isteri kang Sarpin.

 

Hidangannya sederhana saja, Nasi putih hangat, telur dadar, sayur buncis, ikan asin, sambal dan kerupuk – namun nikmatnya mak nyuus bo; serius beneran nih; entah karena suasananya yang berbeda atau memang karena kita lagi laper dan masih capek yang jelas makan jadi lahap dan nikmat……

 

Selesai makan kelihatannya semua sepakat untuk segera istirahat – semuanya sudah siap di kaplingnya masing-masing dan sudah berada di dalam sleeping bagnya; sambil saling melemparkan cerita-cerita horror maupun candaan horor……(nakut-nakutin si Alin dan Eliz) kami pun berangkat tidur zzzz…zzzz..zzz – (kelihatannya kang Sarpin tidak terlalu suka cerita-cerita horor kami dia lebih suka memilih keluar ke beranda memandangi bulan hehehehe – maaf ya kang);

***

 

Minggu, 13 Februari 2011 di teras Rumah Kang Sarpin Kampung Balimbing

 

Tentang  Orang Badui

Tahukah anda kalo orang badui tidak mengenal budaya baca – tulis? Yang ada adalah budaya lisan, fakta ini saya ketahui dari kang Sarpin ketika pagi hari kami mengobrol di teras rumahnya di temani teh manis dan ketan hangat yang pulen.

 

Kang Sarpin mengatakan bahwa anak-anak Badui Luar tidak pergi bersekolah, karena mereka memang tidak mengenal budaya baca tulis (atau malah dilarang secara adat?). Jadi semua tradisi dan adat istiadat selama ini diturunkan secara lisan turun temurun. Terus terang antara takjub dan miris juga saya mendengar hal ini, takjub atas kemampuan mereka menjaga adat dan mewariskan ke generasi berikutnya secara lisan, tapi juga miris seberapa lama mereka akan mampu menjaga budaya nya.

 

Kalo kita ingat akan permainan pesan berantai dalam even-even team building – dimana 10 sampai 15 orang dibariskan kemudian kepada  orang yang paling depan diberikan pesan tertentu yang selanjutnya pesan tersebut harus disampaikan kepada orang yang kedua, dan orang yang kedua ini menyampaikan pesan kepada orang ketiga, demikian seterusnya secara estafet pesan ini dilanjutkan sampai orang terakhir – maka pada saat orang terakhir diminta untuk menyebutkan pesan yg diterimanya, umumnya isi pesannya sudah berubah banyak dan umumnya menjadi tidak lengkap. Kondisi ini disebabkan macam-macam hal karena daya ingat manusia yg terbatas, daya tangkap dan pemahaman terhadap pesan yang keliru, cara menyampaikan yg salah dan bentuk bentuk distorsi lainnya.

 

Nah apakah budaya badui akan mengalami distorsi ataupun penyusutan dan menjadi tidak lengkap setelah generasi generasi berikutnya hanya orang badui  dan sang waktu lah yang akan tahu.

 

Ketika saya tanyakan apakah orang badui mengenal musik dan lagu, Kang Sarpin bilang bahwa alat musik yang dikenal orang badui adalah angklung tetapi lagu yang dimainkan adalah lagu lama – tidak ada lagu baru yang di ciptakan oleh orang badui, demikian juga dengan tari-tarian orang badui tidak mempunyai tari tarian – wah tampaknya orang badui tidak terlalu antusias dalam berkesenian ya.

 

Dan memang selama di Badui Luar ini saya tidak melihat adanya patung ataupun ukir-ukiran atau lukisan mungkin ini karena terkait dengan tidak adanya budaya baca tulis tadi.

 

Beberapa orang mengatakan bahwa orang badui menganut system barter dalam bertransaksi dengan pihak lain – namun menurut kang Sarpin orang badui sudah mengenal uang cukup lama, bahkan termasuk di badui dalamnya.

 

Menurut kang Sarpin berdasarkan koleksi uang yang dimiliki oleh orang tuanya kang Sarpin melihat orang tuanya memiliki koleksi uang-uang kuno, bahkan ada koin yg bergambarkan ratu Wilhemina (ratu Belanda pada jaman penjajahan dulu) dan juga ada uang yang disebut-sebut sebagai uang kerajaan (kerajaan Pajajaran atau kesultanan Banten tidak jelas yang dimaksud kang Sarpin ini kerajaan apa).

 

Artinya orang badui sudah sejak lama mengenal uang dan berinteraksi serta bertransaksi dengan orang asing dengan menggunakan mata uang,

 

Bahkan menurut kang Sarpin ada ritual-ritual yang harus menggunakan mata-mata uang tersebut sebagai salah satu kelengkapan upacara.

 

Jadi kesimpulannya orang badui sudah lama sekali mengenal mata uang.

 

Mengenai pertanian kang Sarpin mengatakan bahwa orang badui melakukan perladangan berpindah, setiap kali lahan yang ditanami tingkat kesuburannya menurun, maka mereka berpindah ke lahan yang lain. Lahan yang di tinggalkan ini akan di diamkan kira-kira 5 -7 tahun agar tingkat kesuburannya kembali (humusnya terbentuk kembali). Namun karena penduduk badui yang semakin bertambah, menurut kang Sarpin lahan yang dulu di diamkan selama 5 -7 tahun baru ditanami kembali sekarang baru 2 – 3 tahun sudah ditanami kembali karena kebutuhan pangan yang meningkat.

 

Masih banyak sekali yang ingin kami dengar mengenai adat istiadat maupun hal-hal lain, sayang kang Sarpin harus turun ke kanekes karena ada pengobatan gratis. Sedangkan kami akan melanjutkan explorasi kami ke desa-desa disekitar desa balimbing ini. Yaitu ke desa marenggo dan gajeboh.

 

 ***

 

Kampung Marenggo dan Kampung Gajeboh

Pagi ini setelah bincang-bincang yang menarik dengan kang Sarpin rencananya kami akan melanjutkan explorasi kami ke Kampung Marenggo dan Kampung Gajeboh, dua kampung badui luar ini termasuk yang sering dikunjungi wisatawan – letaknya yang berada dalam lintasan untuk menuju badui dalam menyebabkan hal tersebut.

 

Pengunjung yang sabtu pagi kemarin banyak terlihat ketika kami sarapan ternyata tujuannya sebagian ke kedua kampung ini, bahkan juga ada rombongan sepedahan yang menuju ke sini – entah mereka berangkat dari mana yang jelas sepedanya dititipkan di Ciboleger; bener-bener deh yang namanya kendaraan dilarang masuk – hanya boleh jalan kaki hehehe.

 

Kami kembali menyusuri jalan antar kampung yang lagi-lagi naik dan turun, hanya saja kali ini tidak separah kemarin dan juga jaraknya tidak terlalu jauh, tidak sampai setengah jam kampung Marenggo sudah kita capai dan untuk mencapai kampung Gajeboh tidak sampai setengah jam jalan kaki dari kampung Marenggo.

Yang menarik dari perjalanan ke Gajeboh adalah adanya sebuah sungai yang cukup besar di sisi jalan, sehingga kami bisa melihat wisatawan yang menginap di kampung Gajeboh ini sedang mandi dan bersih-bersih di sungai ini; buat orang kota bermain-main di sungai seperti ini tentunya menyenangkan. Sayangnya masih ada yang mandi menggunakan sabun dan menggunakan pasta gigi untuk gosok gigi, seharusnya mereka tidak boleh menggunakan benda2 tersebut di sungai ini, agar sungai tersebut tidak tercemari.

Diujung kampung Gajeboh ada sebuah jembatan bambu untuk ke badui dalam kita harus melalui jembatan ini, disitu juga ada tulisan yang melarang untuk berenang/mandi di sungai melewati batas jembatan.

Setelah puas mengeksplore kampung Gajeboh kami kembali ke kampung Balimbing, sebelumnya sempet mampir ke rumah orang tua dari kang Sarpin di Kampung Gajeboh ini.

 

Di kampung Marenggo kami sempet berhenti sebentar di warung untuk beli minum, di kampung ini malah om Onot, om AG dan Adit sempet bermain bola kaki dengan anak-anak badui luar – sementara Ki Slamet terus hunting objek2 yang menarik di sekitar kampung Marenggo ini.

 

Menjelang pukul 9 kami sudah tiba di rumah kang Sarpin  kembali. Setelah sarapan kami mulai packing rencananya kami akan turun ke kampung kanekes jam 11.00 agar tidak terlalu malam tiba di Jakarta nanti.

 

Sebelum meninggalkan kediaman kang Sarpin kami membeli beberapa cindera mata khas badui yang dijual oleh the Misnah, antara lain kain tenun hasil karya teh misnah sendiri, ada juga ikat kepala dan baju orang badui, selain itu ada juga tas yang terbuat dari anyaman akar.

****

 

Kembali ke Jakarta.

Menjelang jam 11  setelah berfoto bersama di depan kediaman kang Sarpin, kamipun meninggalkan rumah kang Sarpin. Ransel-ransel pakaian kami di bawa oleh Mul dan seorang temannya, sehingga kami masih bisa melenggang dengan nyaman.

 

Kami begitu bersemangat untuk melangkahkan kaki kali ini, selain karena tenaga yang masih penuh juga bayangan perjalanan yang begitu panjang dan menguras tenaga kemarin masih membekas begitu dalam. Jadi mumpung masih cukup pagi dan tenaga penuh kami coba lahap tanjakan dan turunan yang ada sesegera mungkin dan sebanyak mungkin.

 

Om Onot, Om AG, Adit, Alin dan saya berada di depan tanjakan-tanjakan kami libas dengan baik meskipun kaki saya masih agak sakit tapi tidak menghalangi pergerakan saya. Demikian bersamangatnya kami sampai-sampai sebelum jam 12 kami sudah tiba di suatu kampung, dimana disalah satu beranda rumahnya kami lihat ada kang Sarpin (ditempat pengobatan gratis). Kang Sarpin memberi isyarat ke om Onot agar istirahat dulu – kami pun duduk2 di warung yang berada didepan tempat kang Sarpin tadi.

 

Kami benar-benar tidak sadar bahwa rumah tempat pengobatan gratis tersebut adalah rumah tempat kami menginap kemarin malam saat tiba di badui luar, dalam bayangan kami pasti masih jauh jalannya seperti perjalanan kemarin siang.

Saking tidak sadarnya om AG bahkan semangat beliin kita minuman dia pikir jalannya masih jauh hehehe. Belakangan setelah di kasih tau kang Sarpin di balai desa Kanekes bahwa rumah tempat pengobatan gratis tadi adalah rumah tempat kami menginap ketika kami tiba barulah kami yakin…. Ada rasa lega berarti sudah sampai ditujuan – oh ternyata dekat saja, pantesan tadi kang Sarpin bilang koq cepet banget udah sampai hehehehe

 

Karena masih dipakai untuk pengobatan gratis, kang Sarpin mengajak kami ke balai desa kanekes, disana kami bertemu kang Masardi salah satu perangkat Kampung Kanekes juga, sayang Jaro Daina (kepala kampung Kanekes) sedang tidak ada di tempat.

 

Kami beramah tamah di balai desa ini termasuk juga menyelesaikan administrasi disana – menuliskan rombongan di buku tamu juga tentunya berfoto ria hehehe…

 

Selesai dari balai desa kami kembali menuju kerumah tempat pengobatan gratis tadi, kali ini kami akan santap siang disini, dengan menunya nasi liwet plus ikan asin waaks maknyuss banget terutama sambelnya bisa bikin semangat makan.

 

Hampir pukul 13.30 ketika kami turun dari kanekes ke Ciboleger dimana bis kami menunggu, sebelumnya sempet mampir di pusat kegiatan belajar masyarakat, semacam tempat belajar untuk baca-tulis ataupun paket kejar (kelompok belajar) – untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa kita bantu.

saya didepan gerbang

Jam dua siang kami berpamitan dengan kang Sarpin, dan kemudian segera masuk ke bis kami, Icha dan Mirza join dengan kami menuju Jakarta, hal ini dikarenakan mereka tidak memperoleh angkutan umum yang ke Rangkas.

 

Di siang hari yang panas tersebut bis kami pun bergerak meninggalkan Ciboleger, kembali melalui jalan-jalan rusak menuju Jakarta. Tidak banyak pembicaraan dalam perjalanan pulang ini, selain badan yang lelah masing-masing tenggelam dengan kesannya sendiri-sendiri atas tanah badui yang baru saja kami tinggalkan tadi. Satu-satunya kejadian yang menarik dalam perjalanan pulang ini  adalah om Effo menunaikan kaulnya – yaitu mentraktir kami makan bakso di rest area tol selepas kota Serang; soalnya om Effo waktu tersiksa oleh kakinya yang kram, terucap yang paling di ingini om Effo saat itu kalo bisa menyelesaikan trekking kali ini adalah makan bakso…….

 

Gemerlap lampu Plasa Senayan dan hilir mudik mobil yang melintas (kontras sekali dengan suasana badui yg gelap dan hening) mengiringi perpisahan kami (tim Badui STAN82) dipelataran parkir plasa senayan ini. Ki Slamet di jemput sedangkan yang lain masing-masing naik taksi menuju rumahnya masing-masing.

 

Berakhir sudah aktifitas outdoor kami kali ini, tapi kami yakin ini bukan yang terakhir – sejumlah tujuan sudah masuk dalam waiting list untuk dikunjungi bersama-sama lagi antara lain Pulau Tidung, Ujung Kulon, Gunung Rinjani dll……insya Allah

 

                                                                                      ----oO0Oo----


STAN82 Goes to Badui - 2

Jembatan Akar


Bus elf kami berhenti ditempat yang agak lapang dimana bis tersebut bisa memutar balik, kami semua turun disini dan selanjutnya dari sini kami akan melanjutkan berjalan kaki, nah ini dia trekking yang sebenarnya akan dimulai. Bis ini akan kembali ke Ciboleger, saya tidak tahu nama daerah tempat kami di turunkan ini yang jelas dari Ciboleger turun kebawah kemudian menyimpang ke kanan dan kemudian menyusuri jalanan sempit yang berupa batu-batu (sebagian besar aspalnya sudah terkelupas) sejauh 15 – 20 menit perjalanan.

 

Saat itu sudah hampir pukul 08.30 ketika kami tiba di dropp zone tadi, udara cerah cenderung panas menyambut kami, tujuan kami adalah trekking menuju jembatan akar dengan melalui beberapa kampung Badui Luar.

 

Setelah Ki Slamet dan om Effo mengambil beberapa foto sawah yang berbentuk terasering – kontur tanah di badui ini memang berbukit-bukit -  tim stan 82 pun mulai mengayunkan langkah menyusuri jalan berbatu, mula-mula masih di jalan utama tetapi kemudian mulai menyimpang dan masuk ke jalan setapak.

 

Kini suasana pedesaan semakin kental, sekelilingi kami didominasi warna hijau – baik warna hijau  dari pepohonan, semak belukar, maupun tanah tegalan yang di olah dan ditanami berbagai tanaman keras seperti kopi maupun cengkeh semuanya menyumbangkan warna hijau, membuat mata ini terasa teduh apalagi di padu dengan udara yang bersih dan jauh dari polusi, benar-benar sangat berbeda  dibandingkan udara Jakarta yang sehari-hari kita hirup.  Seekor burung elang diketinggian terbang berputar melayang dengan  mengembangkan sayapnya, pekikannya seakan memberi salam kepada tim STAN82 yang masuk semakin ke dalam area pedesaan.

 

Menurut kang Sarpin untuk sampai ke jembatan akar perlu waktu 1,5 – 2 jam tapi saya tidak tau itu ukuran jalannya siapa?....jalannya orang badui atau kita-kita yang sudah mendekati kepala lima usianya.

 

Yang jelas sampai disuatu tempat yg bernama kampung Krendeng kang Sarpin mengajak kita duduk disalah satu teras rumah penduduk setempat sambil memberi kami kesempatan mengatur nafas, Kang Sarpin menjelaskan bahwa kami telah tiba di kampung Krendeng, dan di badui ini ada dua kampung yang unik yaitu kampung Krendeng ini, dimana keunikannya adalah kampung Krendeng ini  kampung orang Badui Luar yang berada di wilayah non badui. Sedangkan kampung unik yang satunya lagi adalah kampung Cicakal Girang, ini adalah kebalikannya dengan kampung Krendeng, kampung Cicakal girang adalah kampung muslim (non badui) yang berada di wilayah orang badui.

 

Dan menurut kang Sarpin penduduk kedua desa tersebut bisa hidup berdampingan dengan damai dan rukun walaupun adat istiadatnya berbeda….wah asyikkan kalo semua orang bisa hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Kang Sarpin juga menjelaskan kalo desa Krendeng ini merupakan salah satu sentra durian di wilayah Badui ini, dan memang kami melihat banyak sekali pohon durian sepanjang jalan tadi.

 

Dari kampung krendeng kami melanjutkan perjalanan menuju ke kampung Batara, kami terus menyusuri jalan setapak yang menghubungkan antar desa, tentu saja jalannya naik turun mengikuti kontur perbukitan yang ada, setelah menyeberangi sungai kecil berbatu kami tiba di tepi kampung Batara.

 

Sayup-sayup terdengar suara orang menumbuk padi – yang ternyata dilakukan oleh para wanita Badui Luar, Ki slamet dan om effo tidak menyia-nyiakan moment tsb, kamera mereka segera beraksi mengabadikan moment ini. Patut di akui buat orang yang hobby foto grafi menjelajah alam badui ini memang banyak sekali objek yang menarik yang bisa di abadikan – apalagi jika naluri sebagai fotografernya sudah terasah dengan baik pasti akan mampu mengeksplorasi objek dari berbagai sudut, sehingga bisa menghasilkan foto yang baik.

Salah satu yang khas dari kampung Badui Luar ini adalah jalan-jalan di dalam desa umumnya terbuat dari susunan batu kali, selain itu suasana kampung pada siang hari sangat sepi seakan kampung tersebut tidak berpenghuni, sedikit sekali orang yang berkeliaran di jalanan desa – umumnya yang terlihat adalah anak-anak, wanita dan orang lanjut usia itupun biasanya mereka lebih banyak berada didalam rumah. Mungkin karena para pria nya pergi ke ladang-ladang mereka pada siang hari, sehingga suasana desa sangat sepi pada siang hari itu.

 

Mengenai orang Badui Luar maupun badui dalam berdasarkan  observasi saya selama trekking di tanah badui ini adalah tidak tampak adanya orang badui yang mengalami obesitas alias kegemukan hehehe umumnya tubuh mereka langsing – tidak kurus dan tidak gemuk. Yang unik kaum wanita Badui Luar kebanyakan berkulit putih bersih – unik kan padahal mereka hidup jauh dari salon kecantikan ataupun perawatan kulit hehehehe.

 

Kampung Batarapun kami lalui tim STAN82 terus bergerak menuju jembatan akar, masih dengan semangat yang sama apalagi jalan menuju ke jembatan akar lebih banyak menurunnya maklum namanya sungai biasanya selalu ada di lembah…….(tapi pas baliknya nanti baru siksaan berat buat kami, eh maksudnya buat saya dan om effo  soalnya bakalan nanjak terus hehehe)

 

Setelah menuruni jalanan menuju sungai kami di suguhi pemandangan yang unik - jembatan akar!, sebuah jembatan yang membentang diatas sungai Cisimet, bentangan jembatan ini terbuat dari akar-akar gantung dari dua pohon yang berseberangan di kedua tepiannya. Entah apakah dibuat oleh manusia atau terjadi secara alami yang jelas akar gantung dari kedua pohon tersebut saling jalin menjalin membentuk jembatan, lantai jembatan terbuat dari bambu yang diletakan diatas jalinan akar gantung kedua pohon tadi.

 

Mengenai kekuatannya sih jembatan ini terlihat cukup kokoh tapi tetep saja saat kita berjalan diatasnya jembatan ini sedikit bergoyang-goyang, cukup menakutkan buat orang yang takut ketinggian tentunya….

 

Jembatan akar ini cukup unik tapi mungkin letaknya yang cukup jauh menyebabkan tidak banyak orang yang berkunjung kesini – siang itu hanya tim kami yang berada di lokasi jembatan akar ini; padahal ketika kami sarapan di Ciboleger tadi pagi banyak sekali pengunjung yang datang ke kampung Badui Luar. Tapi bagus juga sih tidak terlalu ramai sehingga kami bisa menikmati jembatan akar ini sepuasnya tanpa ada pengunjung lain.

 

Kami turun ketepian sungai dibawah jembatan akar, duduk-duduk beristirahat menikmati makanan yang dibawa dan tentunya menikmati nuansa tepian sungai dan alam yang segar – di Jakarta mana ada suasana seperti ini ngobrol di pinggir sungai ditengah alam yang masih asri.

 

Selanjutnya tentu saja sessi foto-foto – untungnya kita bawa fotografer handal ki Slamet, apalagi pada kesempatan ini beliau gak tanggung-tanggung menurunkan dua kamera dslr andalannya salah satunya dslr dengan sensor Infra Red (IR) yang konon bisa menampilkan warna lebih ajib.

Belum lagi ditambah kamera om Effo (canon dslr eos d50 ya fo?)  yang ceritanya sedang menimba ilmu dari ki Slamet, nah kurang apa coba tinggal kitanya aja yang gak boleh kehabisan gaya buat jadi modelnya hahahaha…..

***

Dibalik Musibah  Selalu ada Yg mengambil Manfaat

 

Tidak terasa tau-tau sudah jam 11.00 tim STAN82 pun bergerak lagi, kali ini menuju desa kadu jangkung, disana tidak ada obyek yang unik sih – tapi disana lokasi tempat makan siang kami…hehehe jadi mau gak mau ya harus di datangi.

Rute yang kami tempuh menuju kampung kadu jangkung adalah, menyusuri kembali jalan yang tadi kami lewati menuju kampung batara kemudian kembali menyusuri jalan besar – terus nanti menyimpang mengambil jalan pintas menuju Kadu Jangkung.

 

Dalam perjalanan menanjak menuju kampung batara, mulai terasa tenaga kita terkuras – di kampung batara ini om Effo kram telapak kakinya…. Akibatnya saya, om effo dan ki Slamet tercecer di belakang sementara teman-teman sudah jalan di depan.

 

Setelah om effo bisa mengatasi kramnya kami lanjutkan perjalanan, sampai di sungai kecil batas kampung Batara terlihat om Onot menunggu kami – memang beda kalo orang yg terlatih sebagai pecinta alam – pasti dia takut kita salah ngambil jalan karena ada percabangan di depan kami,  makanya kita di tungguin (mudah2an sih itu alasannya bukan sekalian istirahat ngambil napas hahaha).

 

Dari sungai kecil ini kami menanjak menuju desa Krendeng lagi, anggota tim yang lain rupanya menunggu kami di desa Krendeng ini, si Eliz malah sempet tidur-tiduran di beranda rumah orang saking lamanya nungguin kita ….hehehehe.

 

Dari desa Krendeng kami menuju jalan utama, kini kami berada di area yang terbuka dan panas matahari jam dua belas pun terasa menyengat, keringat mambasahi seluruh kaos saya  handuk kecil yang saya bawa pun sudah tidak mampu menyerap keringat lagi, karena sudah sama basahnya dengan kaos saya hehehe.

Ketika mulai memasuki kampung (non badui) dan melintas dekat mushola, Adit mengajak tim untuk berhenti guna menunaikan ibadah sholat dzuhur dahulu; tapi kang Sarpin menyarankan sebaiknya di mushola yang satu lagi karena tempatnya lebih bersih dan lapang – wah salut juga saya sama kang Sarpin ini tadi subuh, saya yang di ingatkan kalo salah arah kiblat, sekarang dia malah ngasih saran tempat mushola yang lebih baik dan nyaman rupanya cukup paham juga dia dengan ibadah umat muslim.

 

Di mushola yg dimaksud kang Sarpin ternyata memang lebih besar dan lebih nyaman apalagi di depannya ada warung yang menjual es mambo (itu lho es dari air sirup yg dimasukan dalam plastic terus di taruh di freezer) kalo di Jakarta es seperti ini pastinya kita tidak lirik sama sekali tapi kali ini karena haus dan kepanasan buanget rasanya nikmat banget ngemut es mambo ini hehehe.

 

Di mushola ini kami berhenti agak lama juga karena mulai terasa kelelahan sehingga terasa enak juga leyeh-leyeh istirahat hehehe, sampai-sampai kang Sarpin yang tadinya jalan duluan dan menunggu di depan, kembali menyusuli kami dan mengingatkan kami untuk bergerak kembali.

 

Tim pun kembali bergerak menyusuri jalan utama dan masih juga ditemani matahari panas yang lagi lucu-lucunya menyinari kami (matahari jam satu siang bo) – sampai di suatu tempat kami menyimpang ke kiri keluar dari jalanan utama tadi, dan mulai menyusuri jalan setapak menembus tegalan dan ladang penduduk.

 

Nah lumayan sekarang sedikit adem karena masuk2 kebun dan ladang jadi banyak pepohonan yang membuat teduh…..tapi kenyamanan itu nggak lama, karena sekarang di depan kami ada lereng bukit yang harus kita lalui….tanjakannya juga nggak kira-kira panjang banget dan kemiringannya cukup terjal…..weeks

 

Sementara itu selain tenaga yg sudah terkuras, perut pun sudah memberi sinyal minta di isi (kalo istilah om Onot cacing2 di perut udah kasih miss call) – rasanya  nasi uduk sarapan tadi pagi di ciboleger sudah tidak tersisa semua, sudah terkonversi menjadi tenaga dan keringat, kayaknya tubuh saya mulai menggunakan cadangan lemak untuk menggerakan kaki-kaki saya agar tetap dapat melangkah hehehe – mungkin kalo dua bulan aja disini dan tiap hari naik turun bukit kayaknya saya bakalan langsing deh….

Dengan kondisi seperti itu kami harus mendaki bukit….harus!! karena makan siang kami menunggu di balik bukit - entah bukit yang mana….hehehe. Duh mana lutut kanan saya mulai terasa nyeri padahal saya sudah dibantu dengan trekking pole (tongkat untuk trekking) supaya beban tubuh sebagian bisa di topang oleh tongkat ini jadi tidak ditopang seluruhnya oleh lutut saya, Nyeri lutut ini memang sudah saya rasakan sejak touring dan trekking ke gunung Manglangyang (bisa dibaca disinihttp://imamarkan.multiply.com/journal/item/44/Turing_Merdeka_MiLYS_-_Gunung_Manglayang_) .….tapi demi makan siang kami maka saya tetep harus bergerak…..

 

Walaupun lambat kami masih bergerak menapaki tanjakan maut ini, kami berjalan disela-sela ladang padi yang mulai menguning siap untuk di panen – orang badui memang tidak menanam padi di sawah; tapi mereka menanam padi ladang (padi huma).

 

Dalam perjalanan ini saya sempat melihat ada kerbau tapi tidak jelas apakah itu milik orang badui luar atau non badui – dan seingat saya selama keluar masuk kampung badui ini saya tidak melihat kandang ternak berkaki empat, seperti kambing, sapi atau kerbau tidak jelas apakah orang badui luar memang tidak berternak hewan kaki empat atau bagaimana (mungkin kalo ke Badui lagi saya akan coba cari tau).

 

Saya menjadi korban medan berat yang berikutnya – ketika menapak di tanah yang agak lunak kaki saya terpeleset dalam upaya menyeimbangkan tubuh reflex kaki kiri saya menjejak tanah dengan cepat namun hasilnya malah betis kiri saya kraam….waaks….arrggh ….gubrak saya jatuh sambil menahan sakit yang luar biasa pada betis saya.

Akibat insiden ini kami berhenti cukup lama menunggu kaki saya siap dipakai melangkah kembali, dibalik penderitaan saya, Om effo kelihatannya menjadi lega banget karena ada teman sependeritaan hehehe, dan yang lain nya happy juga bisa isitrahat ambil napas….Ternyata benar juga paradigma yg mengatakan Dibalik musibah orang lain pasti selalu ada yang mengambil keuntungan atau manfaat hehehehe  - tapi ternyata ada juga sih orang yg tidak mengambil keuntungan dari musibah saya ini, malah kesel dan rada emosi…..yaitu kang Sarpin, belakangan waktu makan dia ngaku agak emosi karena perutnya sudah lapar sementara kita gak mulai jalan-jalan juga….hahahaha, kang Sarpin sorry ya kita nggak tau ente gak tahan laper….kekeke.

 

Setelah di istirahatkan beberapa saat dan juga di olesi krim Felden Gel pemberian Eliz  (setahu saya ini untuk nyeri sendi akibat asam urat – ternyata bisa juga untuk kaki kram) kaki kiri saya bisa saya gunakan untuk berjalan lagi – rombongan pun bergerak kembali.

 

Om AG dan Ki Slamet mencoba membesarkan mental saya dan om Effo dengan mencoba bilang “sudah dekatlah”, “tanjakannya tinggal dikitlah” dan sebagainya – yang buat kami tentunya tidak berpengaruh banyak wong kita tau mereka juga baru pertama kali ke sini  dari mana mereka tau sudah dekat, tanjakannya tinggal dikit dlsbnya….kekekeke.

 

Lagi pula sebenernya mental kami tidak dropp walaupun mengalami kaki kram, kami cuma laappparrr dan lellllaahh hehehe, yang lain juga saya yakin sudah laparr bahkan karena laper si Eliz pun sempet salah liat, atap tempat menjemur padi yg baru di panen, dikira atap rumah penduduk – sempet bilang udah deket tuh keliatan atap kampungnya…..weeks ternyata bukan kampung.

 

Lapar juga yang menyebabkan kami terus bergerak menuju TKP makan siang, soalnya tidak ada yg bersedia ngambilin makanan terus dibawa ke tempat kita nunggu hehehe.

 

to be continued