Thursday, March 24, 2011

STAN82 Goes to Badui - 2

Jembatan Akar


Bus elf kami berhenti ditempat yang agak lapang dimana bis tersebut bisa memutar balik, kami semua turun disini dan selanjutnya dari sini kami akan melanjutkan berjalan kaki, nah ini dia trekking yang sebenarnya akan dimulai. Bis ini akan kembali ke Ciboleger, saya tidak tahu nama daerah tempat kami di turunkan ini yang jelas dari Ciboleger turun kebawah kemudian menyimpang ke kanan dan kemudian menyusuri jalanan sempit yang berupa batu-batu (sebagian besar aspalnya sudah terkelupas) sejauh 15 – 20 menit perjalanan.

 

Saat itu sudah hampir pukul 08.30 ketika kami tiba di dropp zone tadi, udara cerah cenderung panas menyambut kami, tujuan kami adalah trekking menuju jembatan akar dengan melalui beberapa kampung Badui Luar.

 

Setelah Ki Slamet dan om Effo mengambil beberapa foto sawah yang berbentuk terasering – kontur tanah di badui ini memang berbukit-bukit -  tim stan 82 pun mulai mengayunkan langkah menyusuri jalan berbatu, mula-mula masih di jalan utama tetapi kemudian mulai menyimpang dan masuk ke jalan setapak.

 

Kini suasana pedesaan semakin kental, sekelilingi kami didominasi warna hijau – baik warna hijau  dari pepohonan, semak belukar, maupun tanah tegalan yang di olah dan ditanami berbagai tanaman keras seperti kopi maupun cengkeh semuanya menyumbangkan warna hijau, membuat mata ini terasa teduh apalagi di padu dengan udara yang bersih dan jauh dari polusi, benar-benar sangat berbeda  dibandingkan udara Jakarta yang sehari-hari kita hirup.  Seekor burung elang diketinggian terbang berputar melayang dengan  mengembangkan sayapnya, pekikannya seakan memberi salam kepada tim STAN82 yang masuk semakin ke dalam area pedesaan.

 

Menurut kang Sarpin untuk sampai ke jembatan akar perlu waktu 1,5 – 2 jam tapi saya tidak tau itu ukuran jalannya siapa?....jalannya orang badui atau kita-kita yang sudah mendekati kepala lima usianya.

 

Yang jelas sampai disuatu tempat yg bernama kampung Krendeng kang Sarpin mengajak kita duduk disalah satu teras rumah penduduk setempat sambil memberi kami kesempatan mengatur nafas, Kang Sarpin menjelaskan bahwa kami telah tiba di kampung Krendeng, dan di badui ini ada dua kampung yang unik yaitu kampung Krendeng ini, dimana keunikannya adalah kampung Krendeng ini  kampung orang Badui Luar yang berada di wilayah non badui. Sedangkan kampung unik yang satunya lagi adalah kampung Cicakal Girang, ini adalah kebalikannya dengan kampung Krendeng, kampung Cicakal girang adalah kampung muslim (non badui) yang berada di wilayah orang badui.

 

Dan menurut kang Sarpin penduduk kedua desa tersebut bisa hidup berdampingan dengan damai dan rukun walaupun adat istiadatnya berbeda….wah asyikkan kalo semua orang bisa hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Kang Sarpin juga menjelaskan kalo desa Krendeng ini merupakan salah satu sentra durian di wilayah Badui ini, dan memang kami melihat banyak sekali pohon durian sepanjang jalan tadi.

 

Dari kampung krendeng kami melanjutkan perjalanan menuju ke kampung Batara, kami terus menyusuri jalan setapak yang menghubungkan antar desa, tentu saja jalannya naik turun mengikuti kontur perbukitan yang ada, setelah menyeberangi sungai kecil berbatu kami tiba di tepi kampung Batara.

 

Sayup-sayup terdengar suara orang menumbuk padi – yang ternyata dilakukan oleh para wanita Badui Luar, Ki slamet dan om effo tidak menyia-nyiakan moment tsb, kamera mereka segera beraksi mengabadikan moment ini. Patut di akui buat orang yang hobby foto grafi menjelajah alam badui ini memang banyak sekali objek yang menarik yang bisa di abadikan – apalagi jika naluri sebagai fotografernya sudah terasah dengan baik pasti akan mampu mengeksplorasi objek dari berbagai sudut, sehingga bisa menghasilkan foto yang baik.

Salah satu yang khas dari kampung Badui Luar ini adalah jalan-jalan di dalam desa umumnya terbuat dari susunan batu kali, selain itu suasana kampung pada siang hari sangat sepi seakan kampung tersebut tidak berpenghuni, sedikit sekali orang yang berkeliaran di jalanan desa – umumnya yang terlihat adalah anak-anak, wanita dan orang lanjut usia itupun biasanya mereka lebih banyak berada didalam rumah. Mungkin karena para pria nya pergi ke ladang-ladang mereka pada siang hari, sehingga suasana desa sangat sepi pada siang hari itu.

 

Mengenai orang Badui Luar maupun badui dalam berdasarkan  observasi saya selama trekking di tanah badui ini adalah tidak tampak adanya orang badui yang mengalami obesitas alias kegemukan hehehe umumnya tubuh mereka langsing – tidak kurus dan tidak gemuk. Yang unik kaum wanita Badui Luar kebanyakan berkulit putih bersih – unik kan padahal mereka hidup jauh dari salon kecantikan ataupun perawatan kulit hehehehe.

 

Kampung Batarapun kami lalui tim STAN82 terus bergerak menuju jembatan akar, masih dengan semangat yang sama apalagi jalan menuju ke jembatan akar lebih banyak menurunnya maklum namanya sungai biasanya selalu ada di lembah…….(tapi pas baliknya nanti baru siksaan berat buat kami, eh maksudnya buat saya dan om effo  soalnya bakalan nanjak terus hehehe)

 

Setelah menuruni jalanan menuju sungai kami di suguhi pemandangan yang unik - jembatan akar!, sebuah jembatan yang membentang diatas sungai Cisimet, bentangan jembatan ini terbuat dari akar-akar gantung dari dua pohon yang berseberangan di kedua tepiannya. Entah apakah dibuat oleh manusia atau terjadi secara alami yang jelas akar gantung dari kedua pohon tersebut saling jalin menjalin membentuk jembatan, lantai jembatan terbuat dari bambu yang diletakan diatas jalinan akar gantung kedua pohon tadi.

 

Mengenai kekuatannya sih jembatan ini terlihat cukup kokoh tapi tetep saja saat kita berjalan diatasnya jembatan ini sedikit bergoyang-goyang, cukup menakutkan buat orang yang takut ketinggian tentunya….

 

Jembatan akar ini cukup unik tapi mungkin letaknya yang cukup jauh menyebabkan tidak banyak orang yang berkunjung kesini – siang itu hanya tim kami yang berada di lokasi jembatan akar ini; padahal ketika kami sarapan di Ciboleger tadi pagi banyak sekali pengunjung yang datang ke kampung Badui Luar. Tapi bagus juga sih tidak terlalu ramai sehingga kami bisa menikmati jembatan akar ini sepuasnya tanpa ada pengunjung lain.

 

Kami turun ketepian sungai dibawah jembatan akar, duduk-duduk beristirahat menikmati makanan yang dibawa dan tentunya menikmati nuansa tepian sungai dan alam yang segar – di Jakarta mana ada suasana seperti ini ngobrol di pinggir sungai ditengah alam yang masih asri.

 

Selanjutnya tentu saja sessi foto-foto – untungnya kita bawa fotografer handal ki Slamet, apalagi pada kesempatan ini beliau gak tanggung-tanggung menurunkan dua kamera dslr andalannya salah satunya dslr dengan sensor Infra Red (IR) yang konon bisa menampilkan warna lebih ajib.

Belum lagi ditambah kamera om Effo (canon dslr eos d50 ya fo?)  yang ceritanya sedang menimba ilmu dari ki Slamet, nah kurang apa coba tinggal kitanya aja yang gak boleh kehabisan gaya buat jadi modelnya hahahaha…..

***

Dibalik Musibah  Selalu ada Yg mengambil Manfaat

 

Tidak terasa tau-tau sudah jam 11.00 tim STAN82 pun bergerak lagi, kali ini menuju desa kadu jangkung, disana tidak ada obyek yang unik sih – tapi disana lokasi tempat makan siang kami…hehehe jadi mau gak mau ya harus di datangi.

Rute yang kami tempuh menuju kampung kadu jangkung adalah, menyusuri kembali jalan yang tadi kami lewati menuju kampung batara kemudian kembali menyusuri jalan besar – terus nanti menyimpang mengambil jalan pintas menuju Kadu Jangkung.

 

Dalam perjalanan menanjak menuju kampung batara, mulai terasa tenaga kita terkuras – di kampung batara ini om Effo kram telapak kakinya…. Akibatnya saya, om effo dan ki Slamet tercecer di belakang sementara teman-teman sudah jalan di depan.

 

Setelah om effo bisa mengatasi kramnya kami lanjutkan perjalanan, sampai di sungai kecil batas kampung Batara terlihat om Onot menunggu kami – memang beda kalo orang yg terlatih sebagai pecinta alam – pasti dia takut kita salah ngambil jalan karena ada percabangan di depan kami,  makanya kita di tungguin (mudah2an sih itu alasannya bukan sekalian istirahat ngambil napas hahaha).

 

Dari sungai kecil ini kami menanjak menuju desa Krendeng lagi, anggota tim yang lain rupanya menunggu kami di desa Krendeng ini, si Eliz malah sempet tidur-tiduran di beranda rumah orang saking lamanya nungguin kita ….hehehehe.

 

Dari desa Krendeng kami menuju jalan utama, kini kami berada di area yang terbuka dan panas matahari jam dua belas pun terasa menyengat, keringat mambasahi seluruh kaos saya  handuk kecil yang saya bawa pun sudah tidak mampu menyerap keringat lagi, karena sudah sama basahnya dengan kaos saya hehehe.

Ketika mulai memasuki kampung (non badui) dan melintas dekat mushola, Adit mengajak tim untuk berhenti guna menunaikan ibadah sholat dzuhur dahulu; tapi kang Sarpin menyarankan sebaiknya di mushola yang satu lagi karena tempatnya lebih bersih dan lapang – wah salut juga saya sama kang Sarpin ini tadi subuh, saya yang di ingatkan kalo salah arah kiblat, sekarang dia malah ngasih saran tempat mushola yang lebih baik dan nyaman rupanya cukup paham juga dia dengan ibadah umat muslim.

 

Di mushola yg dimaksud kang Sarpin ternyata memang lebih besar dan lebih nyaman apalagi di depannya ada warung yang menjual es mambo (itu lho es dari air sirup yg dimasukan dalam plastic terus di taruh di freezer) kalo di Jakarta es seperti ini pastinya kita tidak lirik sama sekali tapi kali ini karena haus dan kepanasan buanget rasanya nikmat banget ngemut es mambo ini hehehe.

 

Di mushola ini kami berhenti agak lama juga karena mulai terasa kelelahan sehingga terasa enak juga leyeh-leyeh istirahat hehehe, sampai-sampai kang Sarpin yang tadinya jalan duluan dan menunggu di depan, kembali menyusuli kami dan mengingatkan kami untuk bergerak kembali.

 

Tim pun kembali bergerak menyusuri jalan utama dan masih juga ditemani matahari panas yang lagi lucu-lucunya menyinari kami (matahari jam satu siang bo) – sampai di suatu tempat kami menyimpang ke kiri keluar dari jalanan utama tadi, dan mulai menyusuri jalan setapak menembus tegalan dan ladang penduduk.

 

Nah lumayan sekarang sedikit adem karena masuk2 kebun dan ladang jadi banyak pepohonan yang membuat teduh…..tapi kenyamanan itu nggak lama, karena sekarang di depan kami ada lereng bukit yang harus kita lalui….tanjakannya juga nggak kira-kira panjang banget dan kemiringannya cukup terjal…..weeks

 

Sementara itu selain tenaga yg sudah terkuras, perut pun sudah memberi sinyal minta di isi (kalo istilah om Onot cacing2 di perut udah kasih miss call) – rasanya  nasi uduk sarapan tadi pagi di ciboleger sudah tidak tersisa semua, sudah terkonversi menjadi tenaga dan keringat, kayaknya tubuh saya mulai menggunakan cadangan lemak untuk menggerakan kaki-kaki saya agar tetap dapat melangkah hehehe – mungkin kalo dua bulan aja disini dan tiap hari naik turun bukit kayaknya saya bakalan langsing deh….

Dengan kondisi seperti itu kami harus mendaki bukit….harus!! karena makan siang kami menunggu di balik bukit - entah bukit yang mana….hehehe. Duh mana lutut kanan saya mulai terasa nyeri padahal saya sudah dibantu dengan trekking pole (tongkat untuk trekking) supaya beban tubuh sebagian bisa di topang oleh tongkat ini jadi tidak ditopang seluruhnya oleh lutut saya, Nyeri lutut ini memang sudah saya rasakan sejak touring dan trekking ke gunung Manglangyang (bisa dibaca disinihttp://imamarkan.multiply.com/journal/item/44/Turing_Merdeka_MiLYS_-_Gunung_Manglayang_) .….tapi demi makan siang kami maka saya tetep harus bergerak…..

 

Walaupun lambat kami masih bergerak menapaki tanjakan maut ini, kami berjalan disela-sela ladang padi yang mulai menguning siap untuk di panen – orang badui memang tidak menanam padi di sawah; tapi mereka menanam padi ladang (padi huma).

 

Dalam perjalanan ini saya sempat melihat ada kerbau tapi tidak jelas apakah itu milik orang badui luar atau non badui – dan seingat saya selama keluar masuk kampung badui ini saya tidak melihat kandang ternak berkaki empat, seperti kambing, sapi atau kerbau tidak jelas apakah orang badui luar memang tidak berternak hewan kaki empat atau bagaimana (mungkin kalo ke Badui lagi saya akan coba cari tau).

 

Saya menjadi korban medan berat yang berikutnya – ketika menapak di tanah yang agak lunak kaki saya terpeleset dalam upaya menyeimbangkan tubuh reflex kaki kiri saya menjejak tanah dengan cepat namun hasilnya malah betis kiri saya kraam….waaks….arrggh ….gubrak saya jatuh sambil menahan sakit yang luar biasa pada betis saya.

Akibat insiden ini kami berhenti cukup lama menunggu kaki saya siap dipakai melangkah kembali, dibalik penderitaan saya, Om effo kelihatannya menjadi lega banget karena ada teman sependeritaan hehehe, dan yang lain nya happy juga bisa isitrahat ambil napas….Ternyata benar juga paradigma yg mengatakan Dibalik musibah orang lain pasti selalu ada yang mengambil keuntungan atau manfaat hehehehe  - tapi ternyata ada juga sih orang yg tidak mengambil keuntungan dari musibah saya ini, malah kesel dan rada emosi…..yaitu kang Sarpin, belakangan waktu makan dia ngaku agak emosi karena perutnya sudah lapar sementara kita gak mulai jalan-jalan juga….hahahaha, kang Sarpin sorry ya kita nggak tau ente gak tahan laper….kekeke.

 

Setelah di istirahatkan beberapa saat dan juga di olesi krim Felden Gel pemberian Eliz  (setahu saya ini untuk nyeri sendi akibat asam urat – ternyata bisa juga untuk kaki kram) kaki kiri saya bisa saya gunakan untuk berjalan lagi – rombongan pun bergerak kembali.

 

Om AG dan Ki Slamet mencoba membesarkan mental saya dan om Effo dengan mencoba bilang “sudah dekatlah”, “tanjakannya tinggal dikitlah” dan sebagainya – yang buat kami tentunya tidak berpengaruh banyak wong kita tau mereka juga baru pertama kali ke sini  dari mana mereka tau sudah dekat, tanjakannya tinggal dikit dlsbnya….kekekeke.

 

Lagi pula sebenernya mental kami tidak dropp walaupun mengalami kaki kram, kami cuma laappparrr dan lellllaahh hehehe, yang lain juga saya yakin sudah laparr bahkan karena laper si Eliz pun sempet salah liat, atap tempat menjemur padi yg baru di panen, dikira atap rumah penduduk – sempet bilang udah deket tuh keliatan atap kampungnya…..weeks ternyata bukan kampung.

 

Lapar juga yang menyebabkan kami terus bergerak menuju TKP makan siang, soalnya tidak ada yg bersedia ngambilin makanan terus dibawa ke tempat kita nunggu hehehe.

 

to be continued


No comments:

Post a Comment