Thursday, November 30, 2006

Turing Ujung Genteng #1


Solo Touring Ujung Genteng

tgl 09 – 10 April 2006


Touring Preparation

Setelah rencana touring ke Bandung tanggal 9 – 10 april 2006 bersama-sama teman kantor gagal karena benyak peserta yang batal berangkat, maka untuk memenuhi hasrat touring yang sudah memuncak saya putuskan untuk melakukan solo touring dengan tujuan Ujung Genteng.

Saya sendiri belum pernah ke Ujung Genteng (UG), dan dari info yang saya dengar rute ke UG ini cukup menantang dan menuntut ketangguhan fisik. Sebenernya mendengar hal tersebut membuat saya agak ragu untuk touring sendirian, sebab saya tahu rute ke arah selatan jawa barat umumnya sepi dan melintasi pegunungan/perbukitan (dapat dilihat di peta bahwa selatan jawa adalah daerah pegunungan). Namun sampai hari H – 1, beberapa teman yang saya ajak untuk menemani ternyata berhalangan sehingga otomatis touring kali ini menjadi solo touring lagi dan seperti biasa Arif anak saya menemani kembali sebagai boncenger.

Untuk lebih mendapatkan gambaran daerah yang akan saya lalui saya minta info via email kepada Om Rudin (brother satu ini senang dengan adventure touring – sudah pernah sampai ujung kulon lho), mengenai rute, kondisi jalan dan waktu tempuh ke UG, saya juga kumpulkan data mengenai UG yg ada di internet (mengenai penginapan, objek wisata dlsbnya). Dari semua data ini didapat deskripsi kasar sebagai berikut : jarak tempuh 210 km lama perjalanan 7 – 8 jam, rute terbaik adalah via cibadak - cikidang - pelabuhan ratu - surade – UG, penginapan cukup banyak dengan berbagai tingkat harga, objek paling menarik adalah melihat penyu bertelur.

Karena turing sendirian otomatis persiapan dan perlengkapan harus disiapkan dengan baik. Untuk motor sebelum berangkat saya ganti kampas rem depan maupun belakang dan juga tidak lupa memberi gemuk kaki-kaki belakang Mat Item scorpio ku. Perlengkapan cadangan juga gak kalah komplit, tool kit bawaan pabrik, bohlam, sekering, arm relay versi III, conrod ori, ban dalem cadangan plus kunci ring 19 & 17 (kalau2 perlu buka roda) plus strap/tambang (buat narik kalo motor mogok) menghuni tool bags. Demikian juga P3K; antimo, betadin, hansaplast, tolak angin, visine, autan dan panadol masuk dalam kotak obat pribadi (kalo saya menyebutkan merek bukan berarti promosi ya tapi sekedar memudahkan saja). Semuanya kemudian dijejalkan dalam box Givi bersama-sama 2 buah jas hujan. Sedangkan pakaian saya masukan dalam side bag.

Jakarta – Pelabuhan Ratu

Kelar persiapan, maka pada hari minggu pagi 8 April 2006 jam 07.00 bertempat dari halaman samping rumah – poltangan, pasar minggu, dengan mengucap Bismillah dimulailah solo turing ke ujung genteng ini.

Cuaca pagi itu cerah sekali, sangat menyenangkan untuk memulai perjalanan jarak jauh, keluar dari poltangan motor saya arahkan ke Depok, menyusuri jalan raya lenteng agung. Jalanan pagi itu relatif sepi mungkin kerena sebagian orang yang hari sabtunya libur sudah lebih dulu berangkat ke luar kota untuk liburan. Jalan raya lenteng agung ini sejajar dengan rel KA jakarta – bogor, sehingga sesekali motor saya bisa trek-trekan dengan KRL yang kebetulan melintas menuju bogor...(hehehe iseng banget ya gw); ternyata KRL itu lumayan kenceng lho bisa 70 – 80 kpj.

Jalan Raya Lenteng Agung bertautan dengan jalan Margonda salah satu jalan urat nadi kota Depok yang saban hari makin macet karena pembangunan berbagai Mall disepanjang jalan ini. Di pertemuan antara jalan Margonda dan Jalan baru (saya gak tau ini nama jalannya apa? Hehehe), saya belok kekiri ke Jalan baru yang tembus ke jalan Raya Bogor lama tepatnya di perempatan Gas Alam. Setibanya di perempatan tersebut saya belok kanan menyusuri jalan Raya Bogor lama. Dulu inilah jalan utama satu-satunya yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta, sebelum kemudian ada jalan raya Parung-Bogor dan jalan tol Jagorawi.

Sepanjang jalan Raya Bogor Lama ini banyak berdiri pabrik-pabrik yang berpotensi menyebabkan kemacetan khususnya pada saat-saat jam pergantian shift pekerja pabrik, namun dibalik itu adanya pabrik ini juga menyebabkan jalan ini hidup 24 jam dan relatif aman dilalui malam hari. Satu lagi yg sering bikin macet diruas jalan ini adalah adanya pasar tradisional, contohnya pasar cibinong selalu macet tuh. Untunglah pagi itu saat saya melintas situasi lalulintas lancar-lancar saja sehingga saya bisa mengembangkan kecepatan di 70 – 80 kpj.

Jam 08.05 saya sudah melintas didepan terminal bis Baranangsiang – Bogor untuk menuju Tajur dan selanjutnya Ciawi, suasana jalan cukup ramai tapi tidak sampai menimbulkan kemacetan. Kecepatan hanya bisa dipacu sampai 60kpj saja maklum dalam kota dan ramai lagi. Beberapa bikers terlihat sedang berhenti dipinggir jalan menunggu rombongannya komplit tampaknya. Kelihatannya libur dua hari ini tidak disia-sia kan klub2 motor untuk touring.

Tidak sampai setengah jam setelah membelok diputaran ujung jalan tol ciawi saya sudah berada diruas jalan raya yang menuju Sukabumi. Terus terang bagi saya nuansa turing baru dimulai disini, karena sebelumnya hanya nuansa lalulintas padat khas perkotaan yg tiap hari saya hadapi.

Karena sudah memasuki jalanan luar kota segera lampu besar saya nyalakan – walaupun efeknya saya jadi sibuk mengacungkan jempol atau melambai plus senyum berterima kasih kepada setiap orang yang berusaha memberi tahu (dengan isyarat) kalau lampu motor saya hidup. Sebenarnya senang juga sih seperti itu artinya orang2 itu memperhatikan saya hehehe (ge er nih).

Baru jalan lima belas menitan nikmati suasana jalan luar kota menjelang SPN (sekolah polisi negara?) sudah terjadi kemacetan, aduh macet apaan nih??? ternyata ada truk Aqua yang mogok di tanjakan sehingga lalulintas dua arah harus berjalan bergantian, uuh untung gak panjang macetnya...lepas dari situ motor digeber lagi lari 70-80-an kpj wah nyaman banget. Sayang jalannya bergelombang dan kadang2 banyak lubang jadi kudu hati-hati tidak bisa bener-bener santai deh.

Selagi jalan santai seperti itu, entah darimana datangnya saya liat dikaca spion serombongan motor trail muncul dibelakang saya. Tapi salutnya mereka gak maksa mau nyusul saya mungkin karena saya sudah cukup kenceng ya 70 – 80 kpj. Tapi karena saya pengen liat lebih jelas motor2 mereka; tampilannya gagah-gagah euy – saya agak menepi membiarkan mereka lewat mendahului saya. Motornya keren-keren bo, ada KTM asli, TS125, pokoknya bervariasi deh ada yang 4 tak juga, Hyosung kali ya? Semuanya bawa perlengkapan outdoor ada alas tidur yg digulung dan ransel yg diikatkan di jok belakang mereka, mantap man seperti petualang sejati. (tapi saya perhatikan koq semuanya gak ada plat nomornya ya?, spionnya juga gak ada – mungkin biar ringkes plat nomor plus spionnya disimpen di tas ranselnya kali ya? pikir saya simpel hehehe)

Menjelang pasar Cicurug seperti biasa macet, untungnya pake motor jadi bisa nyelip-nyelip ternyata walaupun ada side bag, givi + boncenger, mat item scopiku masih enak diajak meliuk diantara kendaraan. Lepas dari cicurug saya membuntuti rombongan motor trail tadi, numpang gagah-gagahan lah dikit hehehe. Tapi dasar saya riding skillnya kalah sama mereka dan basic saya adalah slow rider maka lama-lama saya makin jauh tertinggal sama rombongan trail tadi.

Setelah ada insiden kecil yang mengingatkan saya untuk tetap berhati-hati (nyaris senggolan dengan Avanza yang menghindari motor jatuh), saya tiba di Parung Kuda, disini saya berbelok kekanan menuju jalan ke arah Parakan Salak dan Taman Nasional Gn Halimun. Seharusnya saya bisa melewati pertigaan Cibadak untuk menuju Cikidang, tapi saya memilih rute alternatif ini karena jalannya lebih sepi dan teduh, jalannya memang lebih sempit tapi suasananya menyenangkan karena segar dan teduh melewati hutan dan perkebunan.

Rute dari Parung Kuda ini nantinya tembus ditengah-tengah ruas jalan antara Cibadak dan Cikidang. Patokan arahnya juga cukup mudah karena di tiap pertigaan ada penunjuk jalan menuju Cikidang- Plb Ratu (selalu ambil yang kiri). Saya tau rute ini sewaktu jalan-jalan ke Taman Nasional Gn Halimun beberapa waktu yang lalu.

Rute Parung Kuda – cikidang ini melintasi perkebunan PTPN VIII (?) Parakan Salak – kebun Cisalak dimana saya lihat tanamannya baru diganti menjadi tanaman kelapa sawit (tadinya kelihatannya bekas kebun karet). Suasana perkebunan sawit ini sepintas mengingatkan saya akan suasana di Sumatera Utara. Di Sumatera utara sana kalo kita melintas di jalan Medan – Pekanbaru atau sedikit keluar dari kota Medan saja maka kita akan melihat hamparan kebun sawit dimana-mana.

Hujan mulai mengguyur ketika akhirnya saya tiba dijalur Cibadak – Cikidang. Hujan ini memaksa saya berhenti untuk mengenakan Jas Hujan. Ketika sedang berhenti mengenakan jas hujan ini melintaslah konvoi mobil Peugeot 505 menuju arah Pelabuhan Ratu. Iring-iringan Peugeot 505 ini panjang juga, rasanya lebih dari 30 mobil dan semuanya tampak terawat dan mulus. Salut juga saya sama pemiliknya karena setahu saya Peugeot 505 ini keluaran antara th 1982 – 1985, jadi sudah hampir berusia 20 tahun.

Perjalanan ke Pelabuhan Ratu saya lanjutkan dalam suasana hujan dan jalanan basah, kendala utama ban standar Scorpio yang terkenal licin benar-benar mengganggu. Beberapakali ban depan sempat sliding di tikungan (padahal kecepatan tidak kencang-kencang amat tuh) untungnya bisa segera dikoreksi sehingga tidak sampai jatuh. Saya putuskan jalan pelan-pelan saja dan tidak berani menekuk tikungan terlalu dalam dan mendadak. Padahal rute ini penuh dengan tikungan2 tajam dan pendek2 (seperti chicane di sirkuit), yg seharusnya diambil dengan kombinasi memindah-mindahkan berat badan dan tekukan setang dengan cepat.

Karena takut ban depan sliding beberapa kali saat mengambil ditikungan malah motor menjadi melebar keluar, untungnya dari arah berlawanan tidak ada kendaraan. Setelah rute berkelok-kelok di Cikidang dilewati akhirnya jam 10.56 saya tiba di Pelabuhan Ratu, (kok saya bisa tau sampai ke menitnya segala? Karena di tachometer scorpioku saya tempelkan-(pake dobel tape) jam tangan digital, jam tangannya gak yang mahal2 koq (biar gak nangis kalo diambil maling) yg kodian aja paling 20 – 40 ribu, kan banyak tuh di Mangga Dua dan cari yg waterproof).

Walaupun habis diguyur hujan cuaca di Pelabuhan Ratu panas karena matahari sudah bersinar lagi ditambah suasana meriah berbagai klub motor yang touring ke Pelabuhan Ratu, bahkan bukan cuma club motor tapi club mobil juga ada dan tumplek blek di sini. Rider Klub-klub motor ini ada yang mengenakan jacket seragam, lengkap dengan atribut bendera klub dan lain sebagainya. Ada juga klub yang tidak mengenakan atribut seragam, tapi dimotor mereka di behel belakangnya dililitkan pita warna tertentu, supaya bisa dikenali oleh sesama rekan konvoinya. Pokoknya meriah deh........

Pelabuhan Ratu – Ujung Genteng

Setelah mengisi bensin Rp 20.000 (sudah kembali penuh lagi – trip meter menunjukan 137km) saya lanjutkan perjalanan dan sempat bertanya arah ke Ujung Genteng maklum tidak ada petunjuk arah yang jelas. Ternyata saya harus mengambil jalan yang ke arah Sukabumi nanti disana ada pertigaan dan petunjuk arah ke Surade (Surade- kota kecamatan(?) sebelum Ujung Genteng), kita harus ambil jalan yang menuju Surade ini. Cukup mudah ternyata menemukan pertigaan ke arah Surade ini, maka saya pun melaju dengan arah yang sudah benar, di pal kilometer terlihat nama tempat berikutnya yg akan saya lintasi adalah kiara dua, sayang jarak kilometernya tidak terlihat/terhapus.

Kali ini rute yang saya lewati kembali berupa jalan aspal yang relatif lebih sempit dan lebih sepi dari jalan rute cibadak-cikidang, jalanannya mendaki perbukitan, berkelok-kelok dan sisi kiri-kanan jalan makin diwarnai pepohonan yang kian rapat. Suasana terasa sekali makin menjauhi hingar bingar peradaban kota, menuju kesenyapan hutan dan desa. Cuaca kembali diwarnai dengan hujan yang turun tidak terlalu deras tapi cukup merata, asap tipis mengepul dari permukaan aspal jalan yang dibasahi air hujan. Untungnya kami masih mengenakan jas hujan, jadi tidak perlu repot-repot berhenti.

Mat item Scorpioku masih terus menelusuri kelokan-kelokan jalan, meniti pinggang perbukitan di selatan jawa barat ini, cuaca yang basah karena hujan ini menyebabkan suhu mesin tidak over heat dan akibatnya tenaga scorpio saya terasa penuh dan galak untuk melewati tanjakan yang ada. Namun hujan yang turun ini juga menyisakan kekhawatiran pada diri saya karena setelah memperhatikan dinding-dinding bukit ternyat terlihat jelas banyak bekas longsoran-longsoran. Demikian juga di beberapa tempat diruas jalan ini tampak bekas longsoran yang kelihatannya baru dibersihkan dari badan jalan. Kelihatanya jalur ini memang rawan longsor.....

Kira-kira kurang 2 – 3 kilometer dari Kiara Dua, Arif boncenger ku minta berhenti karena ingin pipis dan juga lapar, disebuah warung makan saya pinggirkan motor untuk istirahat dan makan. Jas hujan kami tanggalkan dan kamipun masuk warung untuk makan siang, sambil makan saya sempatkan tanya ke penjaga warung masih berapa lama lagi ke Ujung Genteng, menurut dia masih 1,5 jam lagi kalo jalan santai tapi kalo jalan kenceng 1 jam lagi juga nyampe. Selama kami makan beberapa rombongan biker melintas didepan warung tempat kami makan, rombongan tsb mengarah ke pelabuhan ratu mungkin mereka dari ujung genteng (pikir saya). Jam menunjukan pukul 12.30 ketika saya lanjutkan perjalanan lagi dalam cuaca masih hujan.

Selepas Kiara Dua, kami menjumpai pertigaan, penunjuk arah menunjukan Surade, Ujung Genteng ke arah kanan. Jalanan masih berupa perbukitan dan kami sempat melewati rimbunan pohon cemara yang seakan-akan seperti gerbang saja, karena hanya rimbun ditempat tersebut selanjutnya malah tidak terlihat pohon cemara, melainkan hamparan tanaman teh. Ruas jalan ini memang melewati Perkebunan teh Surangga, dan kalo pas di punggung perbukitan pemandangannya indah sekali karena hamparan pohon teh ini seperti karpet hijau yang menyelimuti bukit-bukit.

Keputusan saya untuk mengganti kampas rem depan belakang sebelum solo turing ini ternyata tepat. Kondisi jalanan yang kombinasi aspal mulus dan kemudian tiba-tiba sergapan tebaran lubang di beberapa tempat di badan jalan, memaksa rem bekerja keras. Soalnya lagi enak2 kenceng nikmati aspal mulus tiba-tiba harus ngerem karena muncul lubang2 yang harus dihindari, kemudian jalan mulus lagi demikian terus menerus.

Hampir sejam berjalan saya rasakan jalanan jadi lebih sering turun ketimbang nanjak, wah kelihatannya sudah mulai menuruni perbukitan mengarah ke pantai nih pikir saya. Sesekali saat menuruni bukit mulai terlhat tepian pantai nun dibawah sana. Mendekati ujung genteng saya melintasi kebun2 kelapa khas pemandangan tepi pantai, bau air lautpun mulai terasa. Kondisi jalanan masih kombinasi aspal mulus dan jalanan rusak.

Tiba-tiba didepan tampak pos retribusi, saya dihentikan oleh petugas yang berjaga setibanya di pos ini, ternyata ini pos retribusi untuk kendaraan yang masuk daerah wisata Ujung Genteng, Horreee ...Artinya saya sudah tiba di Uung Genteng. Motor dikenakan Rp 1.000,-, setelah membayar motor saya jalankan kembali tidak sampai 50m saya liat papan bertuliskan Pondok Hexa belok kanan (saya memang booking kamar di Pondok Hexa ini), segera saya belok kanan sesuai arahan tadi.

Kini yang saya lewati adalah jalan ber batu-batu dan pasir, karena menghindari jalan batu2 tadi saya mengambil tepian/bahu jalan yang berupa pasir padat dan sesekali melewati lubang2 yg tergenang air. Suatu saat ketika melipir bahu jalan sebelah kanan saya melintasi sebuah lubang yg tergenang air, rupanya lubangnya cukup dalam dan countur dasar lubang tidak rata dan licin, akibatnya ban depan terpeleset, motor oleng dan hilang keseimbangan. Saya mencoba menahan motor, tapi tanah yang masih basah dan licin menyebabkan usaha ini sia-sia, motor jatuh ke arah kiri ...gubraak...dan saya juga terjatuh, benar2 terjatuh sampai helm bagian kiri membentur tanah....jddugg... aduh...; saya bangkit dari posisi jatuh saya masih dalam kondisi kaget dan shock...saya coba lihat arif boncenger saya, ternyata dia tidak apa2, tidak sampai jatuh ke tanah seperti saya.

Jas hujan saya belepotan tanah dan pasir, tapi untungnya tidak ada yang luka atau sakit apapun, saya hampiri motor saya dan coba dirikan mat item scorpioku yang tergeletak di jalan wuih beratnya.... ternyata bener kata orang2 scorpio itu banyakan nyungsep pas lagi kecepatan rendah. Tadi saya juga kecepatan rendah tuh, kurang dari 20 kpj saya kira, wong jalannya jelek gak mungkin dikebut lah, eh koq malah nyungsep.....

Masih dalam kondisi kaget dan setengah nggak percaya koq bisa jatuh tadi, saya mikir lagi oh mungkin.....gini toh Ujung Genteng mengucapkan selamat datang kepada saya, dengan cara mencium buminya, anyway saya bersyukur tidak ada kerusakan pada scorpioku ataupun cedera baik saya maupun boncenger.

Akhirnya saya tiba di Pondok Hexa, yang merupakan sebidang tanah menghadap pantai dengan beberapa bangunan villa/pondokan diatasnya. Saya lapor ke kantor dan kemudian diantarkan ke kamar yang saya pesan. Tepat didepan kamar saya parkir scorpio ku, jam saat itu menunjukan pukul 14.05 dan trip meter menunjukan 211,8 km. Berarti saya menyelesaikan perjalanan tersebut dalam waktu 7 jam lebih 5 menit (berangkat 07.00 – tiba 14.05) tepat seperti estimasi bro Rudin bahwa Jakarta – Ujung Genteng bisa ditempuh dalam waktu 7 – 8 jam. Dan jarak yg dicantumkan dalam peta yaitu 210 km ternyata juga cukup akurat. Alhamdulillah terima kasih ya Allah sudah sampai dengan selamat di Ujung Genteng.

To be continues...............


No comments:

Post a Comment