
Etappe IV : Hari Pendakian
Rabu, 12 Juli 2006
Terus terang sebenarnya hibernasi saya tidak mulus2 banget, beberapa kali selimut tersingkap dan langsung saja udara dingin menyengat menusuk bagian tubuh yang tidak tertutup selimut.....dan ini membuat saya beberapa kali terbangun. Seandainya saja saya bawa sleeping bag tentunya tidak akan tersiksa seperti ini. Mungkin sudah saatnya saya musti ganti box Givi yang lebih besar kali ya supaya bisa muat bawa sleeping bag.
Pukul 04.30 saya terbangun selain karena bunyi alarm hand phone saya juga karena saya mendengar langkah2 orang melintas didepan pondokan kami. Saya lihat keluar hari sudah mulai terang remang-remang (bingung juga saya jam segitu sudah mulai terang remang-remang kalau dijakarta masih gelap banget), saya lihat beberapa orang penambang melintas didepan pondokan saya membawa keranjang kosong.
Waah jelas gak mungkin ngeliat sun rise nih kalo kaya gini .....hehehe, tapi saya tetap segera menyiapkan barang-barang yang mau saya bawa kedalam Ransel saya. Biskuit, Kacang Sukro, Permen Karet, Permen Asem, Tripot serta handuk kecil saya masukan dalam ransel eiger ku, persediaan air sih sudah pasti gak ketinggalan. Kemudian saya siapkan juga kamera digital dan persediaan baterenya, hp ku karena gak ada sinyal di Paltuding ini saya matikan dan masukan kedalam tas pinggang.
Kegiatan selanjutnya yang gak kalah susahnya adalah membangunkan Arief, yang masih tidur meringkuk dalam selimutnya. Butuh waktu setengah jam lebih untuk membujuk dia bangun dan mengajaknya untuk siap-siap mendaki. Akhirnya arif bangun juga setelah dijanjikan bahwa setelah mendaki kita akan ke pemandian air panas.
Jam 05.30 kami mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan pendakian ke kawah ijen. Udara masih sangat dingin saat itu, makanya arif selain mengenakan jacket saya pakaikan sarung tangan dan balaclava cadangan.
Jalanan menanjak yang kami lalui berupa jalan tanah dengan permukaannya berupa butiran pasir berwarna abu-abu, cukup licin jika tapak sepatu tidak punya kembangan. Bagian jalan yang sering dilintasi oleh penambang meninggalkan jejak berupa permukaan jalan yang berwarna hitam, hal ini dikarenakan pasir-pasirnya tersapu ke pinggir. Kira-kira kalau dilintasan sirkuit ini menunjukan racing line dari para penambang hehehe.
Menit-menit pertama berjalan sih, masih belum terasa apa-apa tapi setelah seperempat jam ....koq terasa napas mulai berat. Wah kacau juga nih stamina saya sudah jelek banget, memang sih lebih dari dua bulan terakhir ini saya absen dari olahraga badminton (terakhir ini ganti belajar tennis) maupun sepak bola (sebenernya saya main bola cuma buat menuh2in lapangan hehehe, tapi begitupun sampai saat ini saya sudah mengoleksi satu gol dalam pertandingan resmi – Final Samudera Cup 2005 hihihi).
Saya sendiri bukan jebolan pecinta alam, jadi tidak pernah tau gimana cara teknik berjalan mendaki gunung supaya tidak tersengal-sengal. Akhirnya saya pake jurus truk Fuso melibas tanjakan, biar pelan asal keep moving, toh kata pribahasa tak kan lari Gunung dikejar...iya kan. Sepanjang jalan saya sendiri berusaha mengajak arif ngobrol biar dia nggak ngerasa capek dan patah semangat untuk mendaki.
Dijalanan yang mendaki ini kami tidak saja berpapasan dengan penambang yang turun tapi juga didahului oleh penambang-penambang yang naik. Salah seorang penambang yang naik kami ajak ngobrol namanya kalo gak salah denger pak Sulastiono, kami tanya berapa banyak belerang yang bisa mereka angkut sekali jalan. Menurut dia rata-rata penambang disana bisa mengangkut 80 kg belerang sekali angkut, tapi kalo dia sendiri karena lagi capek dan tidak fit katanya cuma bisa mengangkut 60 – 70 kg.....(dalam hati saya 60 – 70 kg koq dibilang cuma...weleh2).
Mengangkut 80 kg itu artinya lebih berat dari berat badan saya yang 78 kg...hehehe wah kalo gitu kalo saya pingsan pasti si penambang ini mampu gotong saya kali ya....hihihi.
Ketika ditanya untuk berat 80kg belerang itu berapa uang yang mereka dapatkan, bapak ini menjawab sebesar Rp 35 ribu, kalo cuma 60 – 70 kg kata dia cuma sekitar Rp 29 ribuan dapetnya. Hmmm berarti sekilo kurang dari Rp 500,-..gile padahal jalannya jauh banget. Sayangnya saya lupa nanya daam sehari mereka bisa berapa kali bolak balik. Tapi dari hitung2an logika saya kira tidak akan lebih dari 3 kali. Karena waktu tempuh pulang pergi untuk yang sudah terlatih jalan seperti mereka mungkin 2 – 2.5 jam.
Kasihan juga melihat para penambang ini bekerja keras. Mereka memikul bongkahan-bongkahan belerang berwarna kuning dalam dua keranjang bambu yang dihubungkan dengan dua batang bamboo yang dijadikan satu sebagai pikulannya. Apabila mereka berjalan menuruni jalan setapak dengan memikul keranjang bermuatan penuh dibahunya, maka keranjang tersebut terayun lentur dengan mengeluarkan bunyi kriet-kriet yang khas. Bunyi kriet-kriet ini mengikuti ayunan langkah kaki sipenambang…… kadang kalau bahunya lelah, maka dengan terampilnya pikulan ini dipindahkan ke bahunya yang satu lagi.
Walau sekuat-kuatnya sipenambang ternyata mereka juga perlu beristirahat sejenak dalam perjalanan turun membawa bongkah-bongkah belerang tersebut. Pagi itu bahkan saya jumpai bukan cuma penambang yang berhenti sejenak untuk istirahat tapi malah beberapa penambang beristirahat sambil menyantap sarapan pagi mereka yang terbungkus daun.
Memperhatikan penambang yang turun dengan lincah dengan keranjang penuh belerang yang dipikulnya, kadang mengingatkan saya pada film-film kung fu. Mereka seperti biarawan-biarawan shaolin yang sedang berlatih kung fu dengan membawa dua beban dibahu…..hehehehe
Setelah beberapa kali berhenti untuk mengambil nafas - untungnya pengelola sudah menyediakan beberapa shelter untuk pengunjung beristirahat jika kecapekan mendaki – kamipun sampai di tempat penimbangan belerang, pos penimbangan belerang ini terletak satu kilometer dari puncak Ijen. Ditempat penimbangan ini kami beristirahat lagi, sebelum kami melanjutkan tahap akhir pendakian.
Ketika ada seorang penambang yang dating untuk menimbang bongkah belerangnya saya mencoba melihat angka timbangan dari belerang tersebut, dan ternyata memang beratnya 80 (delapan puluh) kilogram. Luar biasa bener-bener delapan puluh kilogram bo……
Setelah nafas kami terkumpul kembali kami segera melanjutkan tahap akhir pendakian. Kini pemandangannya berubah kalau tadi disekelilingi kami adalah pepohonan dan semak belukar yang rapat, kini pepohonan tersebut tidak banyak lagi, gerumbul-gerumbul perdu lebih banyak mendominasi. Efeknya ruang jadi lebih terbuka sehingga kami jadi bisa memandang sekeliling dari ketinggian, indah sekali, terasa sekali bahwa kami berada disuatu tempat yang cukup tinggi.
Karena kami tahu tinggal satu kilometer lagi sebelum puncak Ijen, ada semangat atau tenaga baru yang mendorong kami untuk mempercepat langkah agar sampai di tujuan. Pukul 07.30 (artinya kami butuh 2 jam untuk sampai kepuncak) kami akhirnya sampai di bibir kawah Ijen………Pemandangannya luar biasa, menakjubkan. Jujur saja ada rasa puas senang dan takjub jadi satu ketika kami sampai dikawah Ijen…..rasanya ingin berteriak senang Akhirnya biker dan boncenger ini sampai juga ke puncak Ijen setelah menempuh jarak lebih dari 1.000km dari jakarta. (mungkin bagi pendaki gunung sejati, rute pendakian kawah ijen ini cuma dianggap jalan-jalan sore aja, tapi bagi saya yang orang biasa-biasa saja tentunya ini kepuasan tersendiri)
Dihadapan kami terdapat cekungan luas kawah Ijen dikelilingi dinding kawah, didalam cekungan kawah tersebut terdapat danau kawah Ijen dengan airnya yang berwarna hijau tosca. Jauh dibawah ditepian danau kawah Ijen ada bagian berbatu-batu yang berwarna kuning dan mengeluarkan asap, itulah sumber belerang yang ditambang oleh penambang-penambang.
Dari atas bibir kawah penambang-penambang yang berada disumber belerang tersebut terlihat kecil…..sayangnya saya tidak membawa teropong untuk melihat dengan jelas bagaimana mereka menambang belerang. Sebetulnya ada jalan setapak menuruni dinding kawah ijen untuk mencapai tambang belerang tersebut, namun karena ada larangan selain penambang dilarang turun ke kawah, maka saya tidak turun kesana.
Pemandangan yang sangat indah ini segera saja saya abadikan dengan kamera digitalku. Beruntung saya membawa tripod sehingga saya bisa mengabadikan diri sendiri dan arif tanpa harus minta bantuan orang lain untuk mengambil gambar kami. Bordiran logo MiLYS yang terdapat dalam body protector saya bentangkan untuk saya abadikan, sebagai bukti bahwa member MiLYS sudah sampai di kawah Ijen, demikian juga dengan lambang Samudera Indonesia Bikers saya kibarkan.
Setengah jam lebih kami habiskan waktu untuk menikmati keindahan alam yang luar biasa ini, matahari yang bersinar cerah membantu kami untuk bisa melihat dengan jelas dinding-dinding kawah ijen, maupun pemandangan disekeliling kawah ijen yang mempunyai ketinggian 2.386m dpl (diatas permukaan laut) ini. Rasanya keindahan kawah ijen tidak kalah dengan keindahan Gunung Bromo, hanya saja bromo memiliki lautan pasir yg menakjubkan dan sarana wisatanya sudah lebih terkelola dengan baik.
Jam 08. lebih sedikit saya putuskan untuk turun gunung. Jangan dikira turun gunung lebih enak dari pada mendakinya lho, ternyata sama beratnya, saya malah sempat beberapa kali terpeleset. Betis saya terasa kencang menahan berat badan saya, lutut saya juga gemetar kelelahan. Sama seperti berangkatnya ternyata perjalanan turun ini saya juga butuh berhenti beberapa jenak untuk mengatur nafas, dan memberikan kesempatan lutut dan betis kembali normal.
Namun kali ini karena menurun dan didorong gaya gravitasi kali ya hehehe.....ternyata perjalanan turun lebih cepat dibandingkan pada saat naik. Rute turun kami tempuh dalam 1.5 jam, sehingga jam 09.30 kami sudah sampai di Pondokan.....Tentu saja dengan kaos yang basah dengan keringat dan nafas tersengal serta kaki-kaki yang kelelahan.
Karena sudah jam 09.30 dan kami baru turun dari Kawah Ijen, maka saya membatalkan opsi ke Banyuwangi dan Taman Nasional Alas Purwo di Blambangan, - waktunya tidak memungkinkan. Dari Paltuding ini memang ada jalan yang menuju Banyuwangi, dengan jarak 33km, sementara TN Alas Purwo masih 60 km lagi dari Banyuwangi ke arah tenggara. Sebagai gantinya kami mengexplore lebih dalam daerah seputar Ijen ini, yaitu ke daerah Blawan dimana disini ada objek wisata, pemandian air panas, air terjun dan goa kapur serta pemandian damar wulan.
Saya sih pinginnya segera berangkat menuju Blawan, tapi ternyata lama juga waktu yang kami butuhkan untuk menormalkan kembali tubuh setelah kecapekan mendaki tadi. Akhirnya baru jam 11.00 kami bisa meninggalkan paltuding menuju Blawan.
Tidak terlalu sulit untuk menuju ke arah Blawan, karena kemarin waktu kami naik ke Paltuding kami melewati papan penunjuk jalan ke Blawan. Yang agak sulit adalah kondisi jalannya setelah melewati pemukiman pekerja perkebunan, jalannya ternyata terdiri dari batu-batu kali, jadi ya pating gronjalan gitu deh...
Jam 11.30 an kami tiba di pemandian air panas.....hmm jangan dibayangkan pemandian air panas ini seperti di Ciater atau di Cimanggu – Bandung Selatan sana ya. Pemandian air panas ini sederhana banget cuma terdiri dari 2 kolam untuk berendam. Memang sih ada bangunan kamar2 mandi untuk yang ingin mandi air panas diruang tertutup, tapi semuanya sudah tidak berfungsi.
Ketika kami datang hanya ada satu orang pengunjung yg datang, itupun dia baru selesai berendam, jadi ya sepi banget. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 2000.- per orang, Arif segera saja buka baju dan menceburkan diri ke kolam air panas tersebut.....byurr wah seneng banget dia kalo udah main air kayak gini. Tidak lama kemudian saya pun menyusul arif untuk berendam dan mandi di kolam air panas ini......soalnya sejak di Paltuding saya gak berani mandi.....airnya dingin banget seperti air es......hehehehe
Ternyata enak juga berendam di air panas setelah tubuh kecapekan mendaki tadi, makanya mandinya jadi kelamaan. Akibatnya kami baru meninggalkan Blawan jam 12.30 setelah sebelumnya melihat air terjun (lokasinya berdekatan dengan pemandian ini), tapi kami gak mampir di gua kapurnya padahal satu lokasi dengan air terjun tapi agak memutar sedikit, soalnya telapak kaki saya nyeri setelah mendaki tadi....gak tau kenapa, jalan saya agak terpincang-pincang.
Kami lanjutkan perjalanan menuju sempol, dan disini kami sempatkan untuk santap siang, baru jam 13.30 kami lanjutkan perjalanan menuju Bondowoso dengan sasaran akhir adalah Lumajang. Rute lengkapnya adalah Sempol-Bondowoso-Jember-Lumajang dengan jarak sekitar 168 km.
Terus terang pendakian pagi tadi sangat menguras tenaga kami, selain kaki yang masih terasa pegel dan telapak yang nyeri kerasa banget stamina drop. Saat itu satu-satunya keinginan adalah segera tiba di Lumajang untuk istirahat. Makanya motor saya jalankan cukup cepat, apalagi jalanannya di dominasi turunan terus. Sempol – Bondowoso kami tempuh kurang dari satu setengah jam; kemudian Bondowoso-Jember juga kurang dari satu jam. Hal ini disebabkan juga faktor jalanannya yang mendukung jalanannya mulus – besar dan menurun, kecepatan bisa 80 – 90 Kpj.
Kami berhenti isi bensin dulu di Jember, selanjutnya mat item kami geber lagi menuju Lumajang. Kondis jalan Jember – Lumajang sangat baik, mulus dan lebar, serta relatif datar. Mat item saya ajak lari sampai 100-110 kpj di trek ini, karena memang treknya benar2 memungkinkan untuk digeber tanpa takut ada lubang menghadang. Harapan saya untuk bisa masuk Lumajang sebelum pukul 17.00 akhirnya tercapai, ketika kami berhasil tiba dirumah Sepupuku pada jam 16.55. Rasanya inilah etappe tercepat yang bisa saya selesaikan, karena hanya butuh 3.5 jam saja untuk jarak 168km an.
Sampai di Warung Gunung Wonorejo (WGW) tempat sepupuku ini(sepupuku – Mas Belo ini mengusahakan resto dengan nama Warung Gunung Wonorejo letaknya 100m dari terminal bis Lumajang arah ke Probolinggo), ternyata tuan rumah sudah berangkat ke Malang siang tadi. Tapi tuan rumah sudah pesen kepada yang jaga rumah kalo kami mau datang dan agar diterima dengan baik. Jadi saya gak perlu kuatir bakalan terlantar hehehehe....
Motor segera saya masukan halaman samping WGW, Resto WGW ini menempati tanah yg cukup luas, kebetulan tuan rumah ini hobby tanaman dan memilhara hewan....dibagian belakang ada dibuat semacam pendopo untuk lesehan, halaman belakang ini teduh dan hijau dengan berbagai tanaman, sedangkan hewan piaraannya cukup banyak ada angsa, burung beo, ayam kate dan juga rusa.
Anak-anak tuan rumah semuanya kuliah di surabaya dan ada juga yg sudah bekerja di jakarta dan jogya, sehingga banyak kamar kosong dirumah ini saat saya datang menginap. Saya segera bongkar side bag dari mat item untuk dibawa ke kamar tempat saya menginap, sambil membongkat saya lihat trip meter mat item scorpioku ternyata menunjukan angka 1.301 km.
Malam itu setelah membuat beberapa catatan saya segera pergi tidur, walaupun badan masih terasa letih tapi ada rasa puas bahwa satu misi telah selesai, tinggal ada satu misi lagi yang harus diselesaikan besok, yaitu menghadiri resepsi pernikahan keponakan saya di Malang..........
No comments:
Post a Comment